Thursday 21 January 2016

IN THE HEART OF THE SEA (2015) REVIEW : An Old-School Survival Movie


Setelah sukses memukau para penonton lewat film Rush di tahun 2013, Ron Howard akhirnya kembali dilirik oleh rumah produksi besar dengan proyek terbarunya. Terang saja, bukan hanya rumah produksi yang berharap banyak, melainkan juga para penonton yang mencoba untuk bersemangat akan proyek terbarunya. In The Heart of The Sea, proyek terbaru dari Ron Howard ini memiliki hype yang cukup tinggi dan berkemungkinan menjadi kontender Academy Awards tahun depan.

In The Heart of The Sea diangkat dari novel dengan judul yang sama yang ditulis oleh Nathaniel Philbrick di tahun 2000. In The Heart of The Sea bisa menjadi sebuah karya yang fenomenal karena menceritakan tentang salah satu kisah yang mengilhami buku legendaris karangan Herman Mellville, Moby Dick. Jelas, lewat tangan Ron Howard tak salah jika penonton akan berekspektasi lebih atas apa yang disajikan olehnya. Apalagi, kiprahnya di Academy Awards telah disadari oleh para Juri.

In The Heart of The Sea memiliki konten Academy Awards yang bisa untuk diandalkan. Hanya saja, Ron Howard melupakan bagaimana potensi besar milik In The Heart of The Sea untuk menjadi lebih dari sekedar survival movie genre. Sehingga, In The Heart of The Sea pun terjebak ke dalam film-film serupa yang sudah pernah dilihat sebelumnya. Ron Howard tak mencoba menawarkan sesuatu yang spesial kecuali suguhan visual efek megah dengan sokongan format IMAX tiga dimensi yang mewah. 


Film ini dimulai ketika Herman Mellville (Ben Wishaw) ingin mencari bahan untuk ditulis ke dalam buku terbarunya. Dia pun berkelana untuk bertemu dengan Thomas Nickerson (Brendan Gleeson), salah seorang awak kapal yang menjadi saksi akan peristiwa besar dalam hidupnya. Dia menjadi salah satu awak  dari kapal Essex yang berkelana menuju samudera luas dan bertemu dengan paus putih yang mengubah makna hidupnya.

Thomas muda (Tom Holland) pada saat itu hanya menjadi awak kapal yang diam. Bersama dengan sang nahkoda dan asistennya, George Pollard (Benjamin Walker) dan Owen Chase (Chris Hemsworth), mereka berburu ikan Paus untuk dicari minyaknya. Sayangnya, George dan Owen tidak memenuhi  target minyak yang mereka janjikan. Sehingga, dia berlaut lebih jauh untuk mencari ikan Paus yang lebih banyak. Tetapi, mereka malah bertemu dengan Paus putih yang memorak porandakan mereka dan awak kapalnya. 


In The Heart of The Sea akan mengingatkan kita pada film milik Ang Lee yang juga diadaptasi dari novel legendaris, Life of Pi. Sehingga tak salah, jika penonton akan berekspektasi lebih atas hasil akhir dari Ron Howard dalam In The Heart of The Sea yang akan tampil prima layaknya Life of Pi. Cara bertutur yang digunakan oleh Ron Howard mirip dengan bagaimana Ang Lee bertutur lewat film Life of Pi. Hanya saja, dasar cerita yang digunakan memiliki dasar cerita yang berbeda dengan film arahan Ang Lee.

Disayangkan, ketika konten kuat yang dimiliki oleh Ron Howard lewat In The Heart of The Sea terkesan disia-siakan. Ron Howard terlihat sangat memiliki ambisi kuat yang ingin dia curahkan ke dalam film terbarunya. Hanya saja, keambisiusan itu malah berbuah tak manis dalam presentasi secara keseluruhan di dalam In The Heart of The Sea. Ron Howard terlalu berusaha keras sehingga In The Heart of The Sea hanya muncul sebagai sebuah survival movie yang generik.

Tak ada kedalaman cerita yang diidamkan oleh Ron Howard di dalam presentasi akhir In The Heart of The Sea. Ingin menceritakan segala kontemplasi akan kehidupan lewat metaforik perjalanan kapal Essex bersama awaknya, Ron malah membuat In The Heart Of The Sea hanya sebagai sebuah film survival yang pernah kita lihat sebelumnya. Dengan keambisiusan yang terlalu besar, presentasi film ini pun tak tampil secara prima. 


Emosionalitas cerita dalam film terbaru karya Ron Howard ini menjadi sebuah keraguan yang besar.  Kualitas akting dari para jajaran aktornya lah yang dapat menutupi segala kegagalan aspek bertutur dari Ron Howard dalam In The Heart Of The Sea. Emosionalitas itu hanya timbul dalam sebuah momentum getir yang memang bisa terlihat cukup maksimal. Hanya saja, setelah itu tak ada lagi kekuatan yang tersisa untuk menjalankan 120 menit yang disiapkan oleh Ron Howard dalam film ini.

Penonton mencoba mencari faktor lain yang bisa membuat In The Heart of The Sea berbeda dengan film-film bertema lainnya. Dan selama 120 menit, Tak ada yang dapat menemukan faktor lain yang dapat membuat In The Heart of The Sea menjadi alternatif tontonan survival movie genre. Pun, Ron Howard lupa untuk mengemas cerita dan bertuturnya yang sudah usang menjadi sebuah kemasan yang baru. Sehingga, penonton dapat melupakan poin-poin usang yang ada di dalam filmnya. 


Beruntung, visual efek megah di dalam In The Heart of The Sea setidaknya bisa menjadi pelipur lara bagi penontonnya. Panorama-panorama indah lautan pasifik dikolaborasikan dengan efek tiga dimensi yang tak kalah megah, membuat penonton setidaknya terserap ke dalam perjalanan awak kapal Essex dalam mencari jawaban akan kehidupannya. Paling tidak, poin itu lah yang dapat membuat penonton tidak merasa rugi menyaksikan In The Heart of The Sea.

Bagaimana film ini sudah mendapatkan hype dari beberapa kalangan yang menyebut bahwa In The Heart of The Sea bakal ?menang? besar, nyatanya Ron Howard malah tenggelam bersama keambisiusannya. In The Heart of The Sea pun jatuh menjadi presentasi survival movie tanpa terobosan baru atau pun berusaha mengemasnya menjadi sajian yang segar. Ron Howard hanya menggunakan formula usang yang malah berdampak tak baik baginya dalam bertutur. Beruntung, sisi teknis yang superior menjadi sokongan bagi In The Heart of The Sea.

BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA (2015) REVIEW : Cerita Terorisme Islam yang Diteroriskan

Kesuksesan dalam menggaet penonton mungkin menjadi salah satu poin penting bagi perfilman Indonesia. Entah, dengan menggaet jutaan penonton, hal tersebut bisa menebus modal yang sudah dikeluarkan oleh film tersebut atau tidak. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa novel-novel terbaru milik Hanum Salsabila Rais diangkat menjadi sebuah film layar lebar. Apalagi setelah 99 Cahaya Di Langit Eropa sukses menggaet total 1,5 juta penonton di dalam dua filmnya. 

Bulan Terbelah di Langit Amerika jelas diharapkan oleh Maxima Pictures menjadi sebuah Box Office Hit yang bisa mengekor kesuksesan film sebelumnya. Meskipun, proyek ini berada di tangan sutradara yang berbeda. Rizal Mantovani menggantikan Guntur Soeharjanto sebagai komandan tertinggi untuk mengarahkan perjalanan selanjutnya dari Hanum dan suaminya di negara Amerika. Bulan Terbelah di Langit Amerika tetap didukung dengan aktor aktris ternama Indonesia.

Sama seperti 99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika ini masih menjual eksistensi agama Islam di negara selain Indonesia. Tak seperti Guntur Soeharjanto, Rizal Mantovani membuat Bulan Terbelah Di Langit Amerika kehilangan poin utama dari filmnya. Alih-alih membahas terorisme agama yang menyerang agama Islam di negara Amerika, Bulan Terbelah di Langit Amerika malah jatuh menjadi sebuah film drama rumah tangga berbumbu islami. 


Diawali dengan bagaimana Hanum (Acha Septriasa) ditugaskan oleh bosnya untuk mengulik dan menulis artikel dengan judul ?What The World Would Be Better Without Islam??. Hal ini dikarenakan karena video yang terunggah di sebuah situs dengan judul ?Where?s My Dad?? yang bercerita tentang bagaimana ayahnya disangka teroris saat tragedi 9/11. Hanum pergi ke Amerika untuk mewawancarai narasumbernya yaitu Azima (Rianti Cartwright), Ibunda dari anak kecil tersebut.

Tetapi, perjalanan Hanum tak bisa berjalan mulus. Azima menolak dan menyuruh pergi Hanum karena isu yang dibahas sangat sensitif dengan warga Amerika. Hanum pun mulai memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa mendapatkan jawaban dan konten sebagai dasar tulisannya. Hanum tak berangkat sendirian, dia ditemani oleh sang suami, Rangga (Abimana Aryasatya) yang kebetulan juga mempunyai urusan di sana. Perjalanan mereka di negara Amerika tak hanya untu memenuhi tugas satu sama lain, tetapi juga menguji urusan rumah tangga mereka. 

 
Terorisme memang sering sekali disangkutpautkan dengan agama Islam. Sehingga, kejadian apapun yang mengatasnamakan terorisme jelas akan menyerang agama Islam. Hal ini juga terjadi ketika kejadian 9/11 terjadi. Salah satu kejadian paling fenomenal di dunia yang juga sekali lagi mengatasnamakan terorisme sebagai tersangka. Hal ini lah yang mendasari poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika. Mencoba mengangkat derajat agama Islam yang terlanjur memiliki citra buruk tentang sebuah terorisme.

Entah tak tahu seperti apa konten dari sumber aslinya, Bulan Terbelah di Langit Amerika sebenarnya berani menawarkan premis cerita yang seharusnya bisa menjanjikan. Usaha untuk membangkitkan kembali eksistensi yang lebih baik tentang agama Islam yang sudah menjadi kambing hitam tentang terorisme. Nyatanya, Rizal Mantovani tak menangkap secara baik poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika yang lebih menjanjikan ini.

Alih-alih membahas lebih dalam tentang minoritas Islam di negeri orang, Rizal Mantovani hanya bermain aman mengulik dapur rumah tangga Hanum dan Rangga dengan nafas islami. Tak lupa penggalan-penggalan kitab suci diselipkan ke beberapa dialog yang mungkin hanya sekedar menjadi sebuah orgasme para pengguna atribut keagamaan yang sama dengan karakter utamanya. Tak menjadi sebuah dialog simbolis yang dihadirkan sebagai sebuah bahan renungan tentang tuhan dan agama. 


Rizal Mantovani membanting setir poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika menjadi sebuah film romansa dewasa tentang pernikahan. Dialog-dialog simbolik tentang bulan terbelah memang ada dan menyangkut dua poin penting filmnya yaitu terorisme agama dan romansa pernikahan. Hanya saja Rizal Mantovani tak bisa menggabungkan kedua hal itu dengan irama yang sama. Maka perumpaan simbolik itu terkesan menggelikan dan tak dapat mendapat benang merah dari kedua poinnya.

Tak dapat dipungkiri, para pemain di film ini memiliki ikatan emosional yang sangat baik. Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Nino Fernandez, dan Hannah Al-Rashid bisa membuat Bulan Terbelah Di Langit Amerika tak jatuh terlalu dalam. Penampilan mereka berhasil membuat Bulan Terbelah di Langit Amerika memiliki poin menarik dalam mengulik romansa dewasa tentang pernikahan. Hanya saja ketika landasan agama yang diselipkan ke dialognya, ada sesuatu yang mengganjal hadir di dalamnya. 



Terasa ada keraguan menyertai mereka yang sedang tak tahu maksud secara lebih dalam tentang landasan agama yang mereka lantunkan di dalam dialog mereka. Sehingga, apa yang mereka tampilkan pun terkesan dibuat-buat. Mereka sendiri terlihat tak nyaman dengan atribut-atribut agama yang berusaha mereka kenakan untuk mendalami karakter yang dimainkan. Tetapi, tanpa atribut itu, calon penonton yang sudah mereka targetkan tak akan berbondong-bondong hadir ke bioskop untuk menyaksikan film ini.

Bukan suatu yang salah ketika menyelipkan drama romansa pernikahan ke dalam film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Hanya saja, Rizal Mantovani belum benar mencarikan benang merah yang mampu menggabungkan perumpamaan simbolik tentang bulan terbelah dengan dua poin utamanya. Ikatan emosional para pemainnya dan kualitas akting mereka memang sudah mumpuni. Hanya saja, bagaimana mereka masih merasa canggung dengan atribut agama yang mereka kenakan di dalam karakternya yang membuat Bulan Terbelah di Langit Amerika terkesan tak nyata. 

SUNSHINE BECOMES YOU (2015) REVIEW : Pertunjukkan Cinta Pura-Pura


Sebagai bulan di mana film-film Indonesia dengan mudah menarik penonton, Desember menjadi ajang di mana rumah produksi bersaing satu sama lain untuk mencetak box office hit. Salah satunya adalah Hitmaker Studios yang selama ini berhasil mencetak beberapa film yang menduduki 10 besar film terlaris setiap tahunnya. Jelas, di tahun ini Hitmaker Studios tak mau kalah untuk membuat film yang memiliki potensi untuk menjadi box office hit.  
 
Alih-alih membuat film horor lainnya, Hitmaker Studios membuat sebuah film dengan genre berbeda di bulan desember 2015. Diangkat dari sebuah buku best seller karangan penulis ternama, Ilana Tan, Rocky Soraya bermain dalam genre roman picisan yang digadang dapat menggaet banyak penonton. Sunshine Becomes You berbekal banyak sekali potensi untuk menggaet banyak penonton. Bukan sekedar berbekal novelnya yang best seller, pemilihan aktor aktris utamanya juga menjadi poin penting dari film terbaru arahan Rocky Soraya ini.

Mencoba bermain di genre yang berbeda dari pakem rumah produksinya menjadi langkah yang mengagetkan. Rocky Soraya memang tak pertama kali mengarahkan sebuah film romance, sudah ada Chika yang pernah ia arahkan. Konten yang ada di Sunshine Becomes You sudah terlihat cukup lemah lewat premis yang biasa. Tetapi, Rocky Soraya membiarkan premisnya tanpa bisa berkembang dan dikemas menjadi lebih baik. Sunshine Becomes You hanya menjadi sebuah roman picisan tanpa ada usaha. 


Mia Clarke (Nabilah JKT48), seorang guru sanggar tari terkenal di New York berteman dengan Ray Hirano (Boy William) sejak lama. Mereka berdua berada di sanggar tari yang sama meskipun memiliki genre tari yang berbeda. Ray jatuh hati kepada Mia sejak lama dan dia mencoba untuk mengajaknya jalan dan bertemu dengan kakaknya. Alex Hirano (Herjunot Ali), kakak dari Ray Hirano yang juga seorang pianis handal yang sudah terkenal.

Tetapi, Alex memiliki sifat buruk yang bisa menjadi bencana bagi orang-orang sekitarnya. Sifatnya yang terlalu perfeksionis membuat orang-orang takut berurusan dengannya. Ketika Ray ingin mengenalkan Mia kepada Alex, sesuatu terjadi terhadap Mia. Secara tak sengaja, Mia jatuh dari tangga dan menabrak Alex sehingga menyebabkan tangan Alex patah sementara. Di saat masa pemulihan, Mia beri?tikad baik untuk membantu Alex selama masa pemulihan. Dan semakin lama, Alex juga jatuh hati dengan Mia. 


Tak memiliki premis yang kuat, Sunshine Becomes You memiliki potensi untuk menjadi sebuah roman picisan yang hatuh menjadi terlalu biasa. Perlu pengemasan yang segar dan pengarahan yang menarik untuk membuat premis dari Sunshine Becomes You agar menjadi sebuah film drama cinta remaja yang berbeda. Sayangnya, Rocky Soraya tak memperhatikan semua itu. Sunshine Becomes You pun masih terperangkap dengan beberapa poin yang ada di dalam film drama cinta remaja yang repetitif.

Tak ada yang salah ketika mengusung drama disease-porn dengan bumbu romansa cinta cheesy di dalam sebuah film. Ya, beberapa orang memerlukan itu untuk mencari tempat pelarian diri dari drama hidup yang berat dengan merefleksikannya ke dalam film seperti ini. Tetapi, harus memiliki penanganan yang baik agar film seperti ini bisa menjadi pelarian diri yang menyenangkan. Sunshine Becomes You absen memberikan sajian menarik malah cenderung memberikan presentasi yang kurang percaya diri.

Soraya bersaudara memang tak pernah absen mengemas tampilan filmnya secara mewah dan hal itu juga terjadi di Sunshine Becomes You. Banyak beberapa shot yang menarik dan membuat Sunshine Becomes You tampak sangat meyakinkan dengan konten yang apa adanya. Sayangnya, tampilan yang menarik itu tak didampingi secara signifikan dengan bagaimana Rocky Soraya menceritakan 126 menit dari Sunshine Becomes You. Menjadikannya sebuah drama cinta bertele-tele yang tak sebanding dengan panorama indah kota New York yang berusaha keras mereka tampilkan. 


Herjunot Ali memang masih bisa memberikan penampilan yang meyakinkan sebagai seorang yang perfeksionis. Karakter-karakter yang diperankan oleh Herjunot Ali pun terasa repetitif dan tak memiliki sesuatu yang berkembang lebih lagi. Sebagai aktor yang tampil secara individu, Herjunot Ali bisa bermain menarik. Tetapi, ketika sudah bermain bersama dengan sang lawan main, Nabilah JKT 48 ada hal yang terasa dibuat-buat. Ada kehampaan ikatan emosi antar dua individu meski bermain dalam satu film.

Nabilah memang bisa menarik massa yang cukup banyak karena rekam jejaknya sebagai anggota JKT 48. Hanya saja, sebagai seorang bintang baru masih banyak sekali poin-poin penting yang harus diasah lebih kuat. Bagaimana Nabilah hanya sekedar menghafal dan melantunkan dialog tanpa memberikan penekanan sana sini agar apa yang ia lakukan tak terkesan dibuat-buat. Perannya tenggelam karena Herjunot Ali berusaha kuat agar Sunshine Becomes You terlihat menarik. 


Poin penting yang harus diperhatikan dari Sunshine Becomes You, bagaimana Rocky mengadaptasi sumber dari Ilana Tan. Dengan premis yang sudah bukan menjadi kekuatan utama, adaptasi yang ditulis ke dalam skripnya pun tak bisa menyokong premisnya yang lemah. Banyak sekali dialog-dialog klise yang dimasukkan ke dalam naskah filmnya. Itu pun diperlemah lewat bagaimana aktor aktrisnya membawakan setiap dialog filmnya yang tak memiliki keterikatan.

Alih-alih membawa Sunshine Becomes You menjadi sajian segar, Rocky Soraya malah bermain aman dan secara repetitif mengulangi kesalahan drama cinta remaja yang sudah ada di perfilman Indonesia. Meski Dikemas dengan presentasi yang mahal untuk dipandang oleh mata penontonnya, tetapi penampilan dan ikatan emosi yang ditampilkan oleh para pemainnya tak dapat meyakinkan penonton bahwa kedua karakter utamanya sedang jatuh cinta. Sehingga, Sunshine Becomes You merupakan sebuah drama cinta yang mencurangi penontonnya karena mereka tak benar-benar terlihat jatuh cinta.

NEGERI VAN ORANJE (2015) REVIEW : Kisah Kasih Di Negeri Orang


Dengan setting luar negeri, biasanya para rumah produksi menyatakan eksklusifitas akan film yang digarapnya. Alih-alih mereka menggunakan konten dalam filmnya sebagai kekuatan untuk menjual filmnya, terlalu banya rumah produksi yang anya modal setting luar negeri pun mereka menjadikannya sebagai kekuatan utama dari sebuah film. Bahkan tiga film yang rilis pada Desember 2015 lalu, mereka menggunakan setting luar negeri sebagai kekuatan penjualan dari filmnya.
 
Salah satunya adalah Negeri Van Oranje, film garapan Endri Pelita yang diangkat dari novel best seller. Film yang dibuat oleh rumah produksi Falcon Pictures ini memiliki banyak sekali poin utama yang dijadikan sokongan promosi. Drama persahabatan, panorama indah kota Belanda, dan juga poin novel best seller. Pun, Negeri Van Oranje ditaburi para jajaran aktor aktris kelas A dengan paras tampan dan cantik yang juga memiliki massa di setiap namanya.

Dengan banyaknya taburan poin-poin yang bisa menjual film Negeri Van Oranje adalah sebuah tugas bagi Endri Pelita untuk mengemas film arahannya. Dan beruntung, Endri Pelita bermain aman ketika mengarahkan Negeri Van Oranje. Film ini masih memberikan esensi cantik dan manis akan sebuah kisah cinta dan persahabatan di negeri orang. Meskipun sumber permasalahan Negeri Van Oranje sering timbul dan tenggelam secara emosi dan terkadang mereka mencari cara untuk mencari masalah itu. 


Daus (Ge Pamungkas), Wicak (Abimana Aryasatya), Banjar (Arifin Putra), dan Geri (Chicco Jerikho), empat sahabat yang tak sengaja bertemu satu sama lain di sebuah stasiun kereta. Mereka kedinginan dan saling bercengkrama hingga akhirnya seorang wanita berparas cantik bernama Lintang (Tatjana Saphira) lewat di hadapan mereka. Hanya dari satu kejadian itu, mereka menjadi satu sahabat yang sangat akrab.

Tetapi, keempat pria yang ada di sekitar Lintang berusaha keras untuk saling memperebutkan hati Lintang. Mereka mencoba berbagai cara agar bisa menjadi lelaki pendamping Lintang. Hingga akhirnya, Lintang tahu dirinya dijadikan sebagai rebutan di saat Lintang sudah merasa nyaman bersahabat dengan mereka. Dan ketika pada saat itu, Lintang menikah dengan salah satu sahabatnya yang ternyata mampu menjawab pertanyaan hati Lintang. 


Dengan premis kisah persahabatan dan cinta, entah kenapa ini bisa menjadi poin menarik bagi calon penonton. Teringat dengan film arahan Rizal Mantovani, 5 Cm yang juga bisa menebus angka 2 juta penonton. Pun film itu memiliki poin-poin yang sama dengan Negeri Van Oranje, hanya saja bukan keindahan negeri orang yang menjadi kekuatan, tapi panorama indah alam negeri sendiri. Dan Negeri Van Oranje punya potensi yang bisa diharapkan sama dengan 5 Cm yang mendatangkan banyak penontonnya.

Negeri Van Oranje memiliki presentasi yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan 5 Cm. Presentasi manis dari Negeri Van Oranje muncul dari penulisan naskah adaptasi dari bukunya. Pun, dikemas dengan presentasi cerita yang menarik sehingga penonton tergugah untuk mengikuti isi cerita Negeri Van Oranje. Pintarnya adalah penggunaan alur mundur untuk menceritakan isi Negeri Van Oranje dan memberikan satu kalimat penting di awal cerita sehingga penonton ingin tahu jawaban dari kalimat yang diutarakan di awal filmnya.

Titien Wattimena selaku penulis naskah bertutur dengan lembut di sepanjang film. Menyelipkan kalimat-kalimat manis yang tak murahan yang membuat Negeri Van Oranje terlihat kuat. Hanya saja, ada satu poin yang terlewat dalam Negeri Van Oranje. Drama persahabatan yang menjadi poin utama di dalam filmnya malah membuat distraksi di antara poin kisah lainnya. Persahabatan keempat karakter di dalamnya masih terasa artifisial. 


Pertemuan mereka pun terkesan dibuat sebagai formalitas penuturan cerita bagaimana mereka bisa bertemu. Tetapi, mengapa mereka memiliki alasan agar terus menjalin hubungan sebagai sahabat tak bisa terasa nyata hadir dan dirasakan oleh penonton. Pun, hubungan keempat pria di dalamnya hanya sekedar rival untuk membangun relasi lebih dengan Lintang. Dan ini terlihat kontradiktif sebagai alasan mereka untuk bersahabat satu sama lain.

Jajaran aktor dan aktrisnya pun terlihat belum memiliki relasi yang kuat. Ikatan emosi kelima pemain utamanya sebenarnya sudah ada, hanya saja masih terlihat mentah. Hal itu juga yang memperlemah drama persahabatan yang menjadi sub plot utama dari film ini. Tetapi beruntung, Negeri Van Oranje tak terlalu menonjolkan poin itu karena mungkin sudah tahu hal itu akan menjadi kekurangan dan seharusnya ditutupi oleh sang sutradara. 


Bagusnya, Endri Pelita berusaha keras menutupi kekurangan yang dimiliki oleh filmnya. Untuk menumpulkan sensitivitas penonton akan kekurangan dari film ini, Endri Pelita menawarkan panorama-panorama indah di setiap sudut kota di negara belanda. Meskipun penggunaan fake lens flare itu terkesan berlebihan, tetapi tata kamera yang diarahkan berhasil membuat mata penonton dimanjakan oleh pemandangan-pemandangan indah itu. Negeri Van Oranje pun bisa digunakan sebagai medium perjalanan kecil melihat keindahan sudut-sudut kota di negeri Belanda.

Negeri Van Oranje bukanlah sebuah presentasi sempurna dari Endri Pelita dalam menuturkan sebuah kisah cinta dan sahabat. Ada kekurangan dalam pengembangan konflik persahabatan yang membuatnya kurang tampil percaya diri.  Tetapi, Endri Pelita berusaha keras agar mengemas Negeri Van Oranje bisa tampil dengan segar dan hangat. Dan hal itu dibantu dengan sokongan naskah adaptasi yang ditulis oleh Titien Wattimena. Juga, kepingan panorama indah sudut kota negeri belanda yang menjadikan Negeri Van Oranje sebuah perjalanan kecil menyusuri kota. 

SINGLE (2015) REVIEW : Komedi Megah Tahun Ini


Tak habisnya di setiap tahun Raditya Dika bertemu dengan para penggemarnya lewat film yang ia buat. Dan tak pernah mati, film-film Raditya Dika selalu berada di angka yang cukup fantastis dalam raihan penonton. Faktor kepiawaiannya dalam memberikan canda tawa kepada penggemarnya yang membuat film-filmnya laris manis di pasaran. Sehingga, tak salah jika Raditya Dika bisa menjadi sebuah brand  dalam perfilman Indonesia.
 
Mengejutkan, ketika biasanya Raditya Dika bekerjasama dengan Star Vision di setiap filmnya, kali ini Raditya Dika bisa menggaet rumah produksi Soraya Intercine Films sebagai naungannya. Dan mengagetkan pula, Raditya Dika diberi kesempatan untuk sekali lagi mengarahkan dan menulis naskah untuk filmnya sendiri. Single, karya terbaru miliknya ini masih menggunakan dirinya sebagai pemeran utamanya dan komedi sebagai pilihan genre-nya.

Raditya Dika masih menggunakan formula yang sama di setiap filmnya. Patah hati, kesepian, dan perjuangan untuk mendapatkan kekasih yang diolah dan diperlihatkan kesedihan mereka dengan beberapa candaan dan celaan yang bisa mengundang tawa penontonnya. Single pun masih ditangani secara sama oleh Raditya Dika. Hanya saja, Single tampil begitu prima dan sangat menonjol dibandingkan karya-karya milik Raditya Dika sebelumnya. 


Ebi (Raditya Dika), seorang pejuang cinta yang sedang berkelana mencari seorang dambaan hati. Banyak sekali cara yang dilakukan oleh Ebi untuk berkenalan dengan banyak gadis berparas cantik tetapi tak ada satu pun yang bisa ditaklukkan olehnya. Ebi dibantu oleh teman-temannya, Victor (Babe Cabita) dan Wawan (Pandji Pragiwaksono) di setiap kisah perjuangannya mendapatkan kekasih. Ketika Ebi mulai lelah, dia pun bertemu dengan seorang wanita cantik.

Wanita cantik itu benama Angel (Anissa Rawles), teman satu komplek kos yang didiami Ebi dan teman-temannya. Ebi pun terpanah asmara oleh pandangan Angel yang cantik bak bidadari. Ebi pun jatuh cinta dan berjuang keras agar Angel tak luput dari pandangannya. Tetapi, perjuangan Ebi tak semudah itu. Dia harus berhadapan dengan Alva (Chandra Liow), pria yang dianggap kakak oleh Angel. Alva sudah menyukai Angel sejak kecil dan tak pernah menjadi kekasihnya. Ebi dan Alva bermusuhan untuk mendapatkan hati Angel. 


Cerita yang diangkat oleh Raditya Dika pun masih sama dengan beberapa film yang dia bintangi atau yang dia buat. Tetapi, cerita-cerita picisan seperti inilah zona yang selalu bisa Raditya Dika mainkan. Bisa jadi, Raditya Dika adalah raja dari zona cerita kisah perjuangan cinta beserta kalimat-kalimat mutiara moderen tentang cinta. Sehingga tak salah jika Single masih menggunakan formula yang repetitif dari Raditya Dika sebagai empunya fim ini.

I?tikad baik dari Raditya Dika di film ini adalah ketika Single digunakan sebagai medium koreksi dari kesalahan-kesalahan karya terdahulu yang dia buat. Raditya Dika belajar dari kesalahan dan ketika Soraya Intercine Films mempercayakan proyek ini sepenuhnya kepada Raditya Dika, dia tak mau membuat kesempatan ini sia-sia. Alhasil, Single menjadi sebuah sajian komedi cinta tentang lelaki tuna asmara yang bermain secara apik.

Poin unggul dari Single adalah naskah yang ditulis dari Raditya Dika. Bagaimana Dika berhasil berkembang dalam menulis naskah untuk proyek terbarunya. Memiliki banyak sekali storyline yang sebenarnya keluar dari zona aman tetapi tak lupa formula lama yang dia usung. Beruntungnya, formula usang yang dia gunakan di film terbarunya bisa terkesan menyenangkan dan lebih dinamis ketimbang film-film sebelumnya. Dan hal inilah yang membuat film Single memiliki keunggulan dari karya-karya sebelumnya. 


Penyakit lama yang biasa diidap oleh film-film garapan Raditya Dika adalah inkonsistensi dari persebaran humor yang ada di dalam filmnya. Single memang tak bisa lepas dari penyakit itu, hanya saja prosentase inkonsistensi itu tak terlalu banyak sehingga Single mampu berjalan lancar untuk menghibur penontonnya. Guyonan milik Dika yang ada di film Single pun bisa dibilang naik tingkat. Tak hanya bermodal humor slapstik, tetapi ada beberapa humor pintar yang terkesan murahan.

Film Single ini pun terasa beda karena Raditya Dika memberikan sebuah drama keluarga yang hangat. Ini adalah sebuah turning point dari film Raditya Dika yang biasanya hanya mengumbar hura-hura dan kegalauan luar biasa. Dan selalu, Soraya Intercine Films bisa membuat film-film yang ada di bawah naungannya menjadi film yang terlihat megah. Dan hal itulah poin lain yang membuat film Single arahan Raditya Dika ini terlihat sangat berbeda dan lebih menonjol ketimbang karya lainnya. 


Pun, dipermanis dengan anthem patah hati baru dari Geisha yang dengan mudah terinseminasi ke dalam otak penontonnya. Ya, film Single memiliki sebuah soundtrack antemik yang dapat mengingatkan penontonnya ketika selesai menonton film ini. Soundtrack itu tampil ke dalam sebuah adegan yang terasa menjemukan, tetapi entah kenapa Raditya Dika memiliki arahan kuat yang bisa membuat adegan itu terasa menyenangkan untuk diikuti. Seperti mengikuti hidup Ebi yang sedang merana dan berjuang untuk mendapatkan cintanya.

Maka tak salah, jika film Single dari Raditya Dika lagi-lagi akan mencetak angka fantastis dalam raihan penontonnya. Raditya Dika memiliki kans yang besar untuk mendapatkan sorotan dari para penonton dan penonton tak akan merasa kecewa setelah menonton film ini. Film Single adalah bukti dari kedigdayaan Raditya Dika dalam mengarahkan sebuah film. Raditya Dika berhasil mengoreksi setiap kesalahan yang dia buat dan meminimalisir hal itu ke dalam film Single. Meskipun, beberapa penyakit lama masih ada di dalam film ini. Akan tetapi film Single punya banyak poin unggul. 


STAR WARS : THE FORCE AWAKENS (2015) REVIEW : The Franchise Awakens [With IMAX 3D Review]


Menilik lebih dalam, drama opera di luar angkasa yang dibuat oleh George Lucas ini menjadi sebuah film legendaris yang ada di sepanjang industri film Hollywood. Star Wars, memiliki banyak sekali massa yang memuja bagaimana kepiawaian George Lucas ketika membuat universe bagi para Jedi lewat filmnya. Dengan banyaknya poin-poin yang membuat film ini legendaris, tak salah hingga akhirnya Star Wars menjadi sebuah brand yang dijadikan sebuah referensi kultur pop moderen.

Dan pada tahun 2013, Disney membeli lisensi akan Star Wars dari Lucasfilm. Dengan lisensi itu, Disney pun berencana untuk membuat sekuel terbaru dari Star Wars. Jelas, hal ini disambut dengan riang gembira oleh beberapa kalangan yang sangat menantikan bagaimana presentasi dari Star Wars ketika sudah berada di naungan yang berbeda. Dengan munculnya J.J. Abrams selaku sutradara, para penggemar sangat berantisipasi dengan kehadiran Star Wars terbaru dengan judul Star Wars : The Force Awakens.

Episode ketujuh dari film Star Wars ini pun diwarnai dengan beberapa nama menarik di dalamnya. Memiliki dua nama baru di jajaran pemeran utama dan memutuskan untuk mengembalikan pemain-pemain lama dari Star Wars ke dalam filmnya. Hal ini menimbulkan hype tinggi dari penggemar yang sudah menunggu lanjutan dari film Star Wars yang legendaris. Dan J.J. Abrams kembali membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menguasai genre ini. Star Wars : The Force Awakens adalah sebuah paket komplit bagi para penggemar maupun penonton awam. 


Setelah puluhan tahun dari peristiwa Return of The Jedi, Luke Skywalker (Mark Hamill) dikabarkan menghilang setelah kejadian penghabisan Darth Vader. Dan hal itu membuat sebuah kerajaan baru bernama First Order mencari sebuah peta yang berisikan lokasi tempat persembunyian Luke. Karena alasan itu, mereka menyerang penjuru planet. Kylo Ren (Adam Driver), petinggi First Order mencari peta itu yang ternyata disimpan oleh Poe Dameron (Oscar Isaac).

Tetapi, Poe menyembunyikan peta itu di dalam sebuah droid bernama BB-8. Sayangnya, Poe tertangkap dan Kylo Ren berusaha keras untuk mencari droid tersebut. Dan ternyata, droid itu sedang bersama dengan seorang gadis bernama Rey (Daisy Ridley), seorang pemungut besi bekas. Rey tak tahu apa yang ada di dalam droid tersebut sampai seorang stormtroopers yang berkhianat bernama Finn (John Boyega) memberitahukan sesuatu. Finn adalah orang yang  telah membantu Poe bebas dari ikatan petinggi First Order. 


Kehebatan dari Star Wars : The Force Awakens ini adalah bagaimana film ini bisa berdiri sendiri menjadi film baru yang seharusnya adalah sebuah sekuel. Sekali lagi, J.J. Abrams membuktikan bahwa dia adalah seorang sutradara yang mumpuni dalam menggarap sebuah film luar angkasa yang berhasil menghibur penontonnya. Jangan lupakan bagaimana J.J. Abrams juga berperan penting dengan Star Trek dalam menghidupkan franchise-nya. Bahkan menggaet penggemar baru untuk kapal milik Kapten Kirk dan teman-temannya.

Dengan formula yang sama, J.J. Abrams pun bisa menghidupkan kembali sebuah universe luar angkasa legendaris yang bahkan sudah dianggap beberapa orang sebuah mahakarya. Jelas, beban untuk J.J. Abrams sangat besar untuk menghidupkan franchise ini karena bisa jadi bila salah langkah sedikt saja, maka akan banyak sekali orang yang datang mencela. Untungnya, Star Wars : The Force Awakens ini dikemas dengan presentasi yang membuat semua orang terpana.

Ketakutan para calon penonton ketika menonton film ini adalah bagaimana franchise Star Wars ini sudah memiliki episode yang cukup banyak. Penonton takut tak akan mengerti bagaimana kelangsungan cerita bila tak mengikuti seri-seri sebelumnya. Tetapi, ketakutan itu ditampik oleh J.J. Abrams selaku komandan besar dari peperangan luar angkasa ini. Star Wars : The Force Awakens tak menjadi sebuah film yang dikhususkan tetapi juga untuk para penonton baru yang bahkan tak tahu sama sekali dengan konflik-konflik yang ada di dalam Star Wars sebelumnya. 


Ya, masih ada benang merah di dalam Star Wars : The Force Awakens dengan episode-episode sebelumnya. Alih-alih bekutat dengan konflik-konflik lama di episode sebelumnya, J.J. Abrams membuat sebuah setup baru yang tak memusingkan para penonton yang buta akan Star Wars. Dan hal itu adalah poin penting yang dimiliki oleh Star Wars : The Force Awakens untuk menghidupkan kembali franchise legendaris ini.

Tak hanya memuaskan para penonton awam, J.J. Abrams tak melupakan bagaimana dia harus berhadapan dengan para penggemar militan dari seri ini. J.J. Abrams pun berusaha memberikan trivia-trivia yang tampil dengan lebih tebal di dalam tiap adegannya. Sehingga, penonton lama akan merasakan sensasi nostalgia luar biasa yang sangat menyenangkan. Dengan presentasi itu, J.J. Abrams mendapat timbal balik tepuk tangan riuh dari penggemar militannya ketika menyaksikan film ini di dalam bioskop. 


Bukan hanya sekedar trivia dan nostalgia, J.J. Abrams memiliki janji besar untuk membuat Star Wars : The Force Awakens memiliki plot yang tak asal. Dan hal itu dibuktikan secara jelas oleh J.J. Abrams bahwa Star Wars : The Force Awakens memiliki konten tak ringan yang bisa mengundang perhatian penontonnya. Rumit tapi tak terlalu membuat penonton pusing karena Star Wars : The Force Awakens ingin menjadi sebuah film blockbuster paket komplit.

Dan pula, jangan lupakan bagaimana Star Wars : The Force Awakens mengemas berbagai sekuens-sekuens menarik dengan emosi yang kuat. Sehingga, Star Wars : The Force Awakens memiliki nuansa berpetualang yang kental dengan setting luar angkasa. Penonton pun dengan senang hati mengikuti setiap petualangan yang dilakukan Rey dan Finn untuk menemukan Luke. Juga, diiringi dengan tema musik klasik dari John Williams yang indah dan menarik. 


Dan maka dari itu, Star Wars : The Force Awakens berhasil hidup tanpa perlu bergantung atas konflik yang ada di episode sebelumnya. J.J. Abrams berhasil membuat Star Wars : The Force Awakens menjadi sebuah setup baru yang akan menyenangkan penonton awam yang buta tentang apapun yang berkaitan dengan Star Wars. Tetapi, J.J. Abrams tak melupakan bagaimana dia harus berhadapan dengan penggemar Star Wars yang memiliki kuantitas yang besar. Sehingga, Star Wars : The Force Awakens adalah kesuksesan besar untuk menghidupkan kembali sebuah franchise legendaris. 

Star Wars : The Force Awakens diputuskan oleh disney untuk dirilis dalam format IMAX dengan sokongan tiga dimensi. Berikut adalah rangkuman dari format ini

Depth
Menyaksikan film ini dalam format tiga dimensi, apalagi format IMAX membuat kita merasakan sensasi berpetualang di luar angkasa

Pop Out
Banyak sekali adegan-adegan yang menyokong efek ini dalam format tiga dimensinya dan hal itu membuat Star Wars : The Force Awakens sebuah paket liburan ke luar angkasa yang komplit. 

Ya, Star Wars : The Force Awakens sangat dianjurkan ditonton dalam format tiga dimensi dan kalian akan merasakan sensasi yang berbeda ketika menyaksikan film ini. Star Wars : The Force Awakens adalah sebuah sajian paket komplit di berbagai aspek.

NGENEST THE MOVIE (2015) REVIEW : Drama Satir Isu Sensitif


Para komedian indonesia yang sedang naik daun berusaha keras untuk masuk ke dalam ranah perfilman. Bisa dianggap, mereka mencoba untuk memperluas jaringan dan kompetensi mereka untuk menghibur para penonton. Raditya Dika adalah contoh sukses seorang komedian yang berhasil memperluas bidangnya ke dalam ranah perfilman Indonesia. Tak satupun dari karya milik Raditya Dika yang tak menembus angka fantastis. Jelas, langkah ini cukup menjanjikan untuk para komedian lainnya yang ingin lebih lagi.
 
Dan salah satunya adalah Ernest Prakasa, seorang Comic ?sebutan para stand up comedian ?jebolan ajang Stand Up Comedy yang diadakan oleh salah satu stasiun televisi dalam negeri. Setelah sukses mengadakan tur stand up comedy bertema ?Illucinati? dan menelurkan 3 buku berjudul Ngenest, Ernest Prakasa berusaha untuk masuk ke bidang lainnya. Maka, langkah yang diambil oleh Ernest adalah memvisualisasikan ketiga bukunya ke dalam bentuk film yang ditulis dan disutradarai sendiri olehnya.

Ernest mendapatkan Starvision untuk menaungi produk audio visual yang perdana darinya. Jelas, Ernest seperti sedang mempertaruhkan kompetensinya di dalam dunia perfilman. Ngenest The Movie adalah debut penyutradaraan dari Ernest Prakasa yang ternyata memiliki presentasi yang sangat mengejutkan. Ngenest The Movie memiliki performa luar biasa menyenangkan dan tak lupa memberikan suasana hangat kepada penontonnya. 


Dilahirkan sebagai keturunan Cina bukan berarti membuat hidup Ernest Prakasa mudah. Ketika Remaja, Ernest (Kevin Anggara) diasingkan oleh teman-temannya karena dia ?berbeda?. Menjadi korban intimidasi dari teman-temannya tetapi Ernest memiliki seorang teman yang selalu ada dengannya saat Ernest ditindas oleh teman-temannya. Patrick (Brandon Salim), teman bermain Ernest yang selalu ada dan itu pun karena mereka berdua berada di ras yang sama.

Ernest pun berusaha keras agar dirinya tak lagi ditindas oleh teman-temannya karena perbedaan ras tersebut. Dan Ernest memiliki ide untuk mencari Istri seorang pribumi agar keturunannya tak merasakan hal yang sama seperti yang dialami olehnya. Ketika beranjak dewasa, Ernest pindah ke bandung untuk melanjutkan kuliah. Bersama dengan temannya Patrick (Morgan Oey) dia sama-sama menjalani hidup di sana. Dan di sanalah Ernest bertemu dengan Meira (Lala Karmela), seorang gadis pribumi yang dicintai oleh Ernest. 


Bisa dibilang, film arahan Ernest Prakasa ini adalah sebuah memoir perjalanan Ernest hingga akhirnya bertemu dan menikah dengan istrinya sekarang. Dan akan terasa mudah bagi Ernest untuk mengarahkan reka ulang dari kehidupannya. Tetapi, Ernest tetap menggunakan formula komedi untuk mengarahkan filmnya yang juga menjadi keahliannya. Dan sebagai sebuah film Indonesia yang dirilis di akhir tahun, Ngenest The Movie adalah sebuah film komedi cinta-cintaan yang manis.

Rumus yang digunakan oleh Ngenest The Movie memang sama dengan beberapa film komedi lainnya. Tetapi, Ernest mengemas Ngenest The Movie bukan menjadi sebuah drama komedi biasa yang berisi kegalauan. Ernest mengambil langkah yang lebih besar daripada itu. Alih-alih membuat Ernest menjadi sebuah film komedi cinta-cintaan remaja, Ernest menjadikan filmnya penuh dengan intrik isu-isu sosial yang dekat dengan kehidupan  yang ada di sekitarnya.

Isu rasisme kental dan digambarkan kepada karakter-karakter di dalam filmnya inilah yang berusaha digali oleh Ernest Prakasa. Perjuangan-perjuangan kemarjinalitasan sebuah ras yang seharusnya tak terjadi tetapi hal itu menjadi sebuah ?budaya? yang mendarah daging. Dan Ernest berusaha menjadikan Ngenest The Movie sebuah medium pengangkat eksistensi akan ras tersebut yang sedang berusaha keras membaur dengan apa yang ada disekitarnya. 


Isu sensitif itu diarahkan dengan penuh canda tawa sehingga pemikiran penonton pun ditumpulkan agar tak membahas terlalu serius dengan hal itu. Tetapi, tetap menganggap bahwa isu tersebut masih menjadi poin yang perlu digarisbawahi di negara ini yang katanya adalah negara multikultural. Tak hanya itu saja isu yang diangkat di dalam film ini, ada isu masalah drama kehidupan dewasa tentang keturunan yang juga dialami oleh beberapa orang yang telah membangun rumah tangga.

Meski berpindah isu secara signifikan, Ernest Prakasa masih bisa menarik sebuah benang merah yang besar antar satu isu tersebut. Sehingga, Ngenest The Movie tak terpecah menjadi sebuah segmen yang berbeda. Dan di isu inilah, Ernest berusaha memberi rasa manis dan suasana hangat agar Ngenest The Movie tak menjadi sebuah film komedi yang sia-sia. Suasana haru sekaligus meyenangkan yang ditampilkan oleh Ernest akan dengan mudah membuat senyum simpul di wajah penontonnya secara suka rela. 


Hanya saja, Ngenest The Movie seperti masih berada di bayang-bayang rumah produksi yang menaunginya. Beberapa tensi komedi yang ada di tengah film mungkin akan ada yang terasa menurun. Tetapi, Ernest Prakasa sebagai seorang sutradara debutan memang memiliki pengarahan yang mengejutkan. Performa Ngenest The Movie sangat mengagumkan jika disebut sebagai karya perdana. Ernest seharusnya akan bisa mengarahkan yang jauh lebih baik lagi meskipun Ngenest The Movie sudah terkesan berbeda dari film-film Starvision lainnya yang terasa sangat tematik.

Mungkin, Ngenest The Movie akan terasa memiliki formula yang sama dengan beberapa film komedi lainnya. Tetapi, Ernest sebagai sutradara debutan tahu untuk membuat sebuah reka ulang kehidupan pribadinya. Sehingga, Ngenest the Movie berhasil dikemas secara segar meskipun dengan isu-isu sensitif yang dia angkat. Secara tak sadar, Ngenest The Movie adalah sebuah medium bagi Ernest untuk mengingatkan kembali isu tersebut tanpa terlalu dibahas serius. Dan dengan Ngenest The Movie, jelas penonton akan menantikan film-film arahan Ernest Prakasa lainnya.

 

THE REVENANT: The Film Babble Blog Review


THE REVENANT
(Dir. Alejandro Gonz?lez I??rritu, 2015)


There are a couple of things that people are talking about pertaining to Alejandro Gonz?lez I??rritu?s sixth film, the follow-up to his brilliant, Academy Award-winning BIRDMAN OR (THE UNEXPECTED VIRTUE OF IGNORANCE), releasing today in the Triangle.

First, the notion that Leonardo DiCaprio will likely win a Best Actor Academy Award for his powerfully pained performance as the pelt hunting, Indian killing, bear fighting, death defying 19th-century American frontiersman Hugh Glass.

Second, there?s the bear itself ? an incredibly convincing CGI creation of a ginormous grizzly that attacks, mauls, and severely injures DiCaprio?s Glass. The scary scene in which this happens has some folks even crying ?rape!,? but while it does look like the character is getting violated, it?s a female bear who?s protecting her cubs.

A friend joked, ?I bet the bear will win the Oscar!?

But beyond the bullet points of the Leo buzz and the bear lies an epic, uncompromising tale of survival that has just earned a prominent slot on my soon to be posted top 10 films of 2015.

DiCaprio dominates as the title character (the title, THE REVENANT, means a person who has returned as if from the dead), but on the sidelines we?ve got a gruff, angry Tom Hardy as Glass's biggest adversary besides the bear (he's the guy who decides to leave Glass? ailing ass behind after all), Domhnall Gleeson (EX MACHINA, BROOKLYN, STAR WARS: THE FORCE AWAKENS - yep, he's been getting around lately) as the hunting party leader, Captain Andrew Henry; Will Poulter as the young mountain man Jim Bridger, and, even younger, Forrest Goodluck as Glass? half-Native American son, Hawk.

That last bit, about Glass?s son, is fictional as the real life fur trapper/explorer didn?t have a son or the wife that we see getting killed in his tortured flashbacks throughout the film, but when a film is this riveting and driven, I?m not complaining about such embellishments.

Set in treacherous, snowy Montana and South Dakota in the early 1820s, this adaptation of Michael Punke?s ?The Revenant: A Novel of Revenge? follows the infamous hunting expedition led by Gleeson?s Captain Henry into the uncharted post-Louisiana Purchase territory.

In the film?s stunningly shot opening sequence, the hunters and trappers get ambushed by a tribe of Arikara Indians, and the survivors along with what they could save of their pelts, escape on a boat down river. Glass voices that, to avoid further attacks, they should ditch the boat and continue on foot ? a plan that Fitzgerald doesn?t favor.

This is where the bear comes in. While deep in the woods away from the others, Glass comes across the mother grizzly and her cubs and gets the mother of all maulings.

Afterwards, the crew carries him on a makeshift stretcher, but Fitzgerald, as always voicing displeasure, wants to kill or abandon him so they can complete the damn mission and get the hell home. In a struggle over Glass, Fitzgerald kills Hawk.

So Glass finds himself literally left for dead, but despite the dangerous odds he crawls, climbs, and swims through hundreds of miles of wilderness to exact revenge on Fitzgerald. 

While it doesn?t have the single take illusion that BIRDMAN beautifully built up (and that Emmanuel Lubezki won an Oscar for), THE REVENANT does traffic in sweeping unbroken tracking shots with the same mastery. Returning cinematographer Lubezki?s camera glides through the scenery intoxicatingly, beginning many scenes at ground level and ending them trailing off into the campfire smoke in the sky.

This gets us immersed in the open spaces, making us feel like we?re right there with DiCaprio in his suffering, wounded state. The man definitely deserves to get the gold for his no holds barred commitment to the character. The guy?s patented boyish charm is nowhere to be found here; what we?ve got here in his portrayal of Glass is a weathered 41-year old who?s been through hell and back and looks it.

Hardy, who along with Gleeson has been working a lot this last year, may get a nomination for this as well. Between this and his work in MAD MAX: FURY ROAD and LEGEND, it feels like Academy voters will surely take notice.

THE REVENANT may be more grueling than a good time for some moviegoers, but I found it to be more rewarding than punishing. It?s a towering testament to the emotional and physical strength that one finds in themselves when bracing the overwhelming wild of the American west.

When it comes to lengthy, brutal Westerns set in icy terrain this season, maybe this is the one that should?ve been shot in 70mm.

More later...

Todd Haynes? CAROL: Cate Blanchett & Rooney Mara Find Forbidden Love


Now playing at an indie art house, and maybe a multiplex or two, near you:

CAROL (Dir. Todd Haynes, 2015)



Todd Haynes sixth film, CAROL, his follow-up to his masterful 2007 Dylan deconstruction I?M NOT THERE, has been drawing comparisons to John Crowley?s BROOKLYN, which was released earlier in the prestige picture/Oscar bait season of fall 2015.

Both are New York City-set period pieces concerning young women who work in Macy?s-style department stores, both illustrate the coming-of-age experiences of these women in the restrictive society of the early 1950s, and both are based on bestselling, award-winning novels.

And there?s the fact that BROOKLYN director Crowley was once even attached to direct CAROL.

But while BROOKLYN is a well made, and very good looking drama, Haynes? CAROL is something else entirely ? a much more sophisticated, complicated, and immaculately artful work, which is stunningly gorgeous while BROOKLYN is merely pretty.

An adaptation of Patricia Highsmith?s 1952 book ?The Price of Salt? (later re-named ?Carol?), the film is told through the eyes of Rooney Mara as 20-something aged shopgirl Therese Belivet, who becomes intrigued by Cate Blanchett as the much older (40-something) Carol Aird, a wealthy New Jersey housewife, when they meet over a counter at Frankenberg's department store.

Carol is Christmas shopping and asks for Therese?s help looking for a doll for her daughter. The two converse pleasantly, then Carol forgets her gloves on the counter when she leaves. Therese arranges for the gloves to be sent to Carol?s home. Carol calls Therese at work to thank her for sending the gloves, and invites her out to lunch where they hit it off further.

In the meantime, we learn that Carol is going through what could become a messy divorce from her angry husband, Harge (Kyle Chandler), while Therese, who dreams of being a photographer, has a boyfriend, Richard (Jake Lacy), who wants to marry her, and live together in France. We also meet Sarah Paulson as Carol?s bestfriend/former lover, who?s relationship is a source of Harge?s chargrin.

Carol invites Therese over for dinner, but the night, and their budding romance, is interrupted by Harge, who demands that his wife go with him and their daughter Rindy (Kk Heim) to Florida for Christmas, but she refuses.

Later, Harge?s lawyer cites a ?morality clause? against Carol that would grant him sole custody of Rindy.

Despite this situation, or because of it, Carol and Therese embark on a road trip out west, before which Therese breaks up with the increasingly frustrated Richard.

On the road, the pair gets closer but things go askew when they find out that a P.I. (Cory Michael Smith) that Harge hired to get incriminating evidence on Carol, has been recording their lovemaking (tastefully shot, of course) through their hotel wall.

To fight for custody of Rindy, Carol departs back to New York, leaving Therese behind and their relationship up in the air.

Of all of Haynes? fine films, CAROL most resembles his 2002 Douglas Sirkian-inspired drama FAR FROM HEAVEN, which also dealt with the taboo of homosexuality in the McCarthy era. But while HEAVEN had a high gloss to its look, CAROL, shot by the same cinematographer, Edward Lachman, has more of a subtle, darker grain. Many shots echo Life Magazine photography in their muted yet still vivid colors.

The always reliable composer (and long-time Coen brothers collaborator) Carter Burwell?s score is a beautiful embellishment to the proceedings. It swoons and swells effectively throughout, never calling too much attention to itself. Mixed into the soundtrack are a well picked batch of ?40s and ?50s songs, mostly Vince Giordano and The Nighthawks tracks).

But it?s the performances by Blanchett (yes, there will be an Oscar nomination) and Mara (maybe) that stand out the strongest. Both women bring to nervous life the dialogue in the sharp screenplay by Phyllis Nagy (another nomination, I bet), with Mara?s story arc of a woman blooming finding confidence after years of shadowy confliction, nicely blending with Blanchett?s worried perseverance.

CAROL is another late year addition to my top 10 of 2015 (coming soon!). From the absorbing aura of its near perfect period design and visuals, to its tense yet tender handling of its love story, along, of course, with the terrific turns by Blanchett and Mara ? it all made a very poignant impression on me.

More later...