Showing posts with label Lily James. Show all posts
Showing posts with label Lily James. Show all posts

Saturday, 2 June 2018

Gary Oldman As Winston Churchill = Oscar

Now playing at a art house theater near me:

DARKEST HOUR (Dir. Joe Wright, 2017)



In the case of acclaimed performances in which a famous actor plays a famous historical figure ? say, Daniel Day Lewis as Lincoln, or Jamie Foxx as Ray Charles, or Ben Kinglsey as Gandhi, Meryl Streep as anybody, etc. ? it?s become a clich? to say things like that they ?disappeared into the role,? or ?at times I forgot who it was and thought I was watching the real person.?

But with Gary Oldman?s tour de force portrayal of Winston Churchill in Joe Wright?s second World War II-themed film, DARKEST HOUR (the first was ATTONEMENT), he really does completely disappear into the role, and I really did forget at times that it was him and thought I was watching Churchill.

Set in 1940 at the height of WWII, when Britain was on the verge of being invaded by Nazis, the film depicts Churchill?s intense first month as Prime Minister of the United Kingdom.

Much of the film is seen through the eyes of Churchill?s personal secretary, Elizabeth Layton (played by Lily James best known for Downton Abbey and BABY DRIVER), as she begins to work for him shortly into the film.

Churchill assumes his role by meeting with King George VI (Ben Mendelsohn, not stammering as much as Colin Firth did in the same part in THE KING?S SPEECH), assembling his War Cabinet which includes his predecessor Neville Chamberlain (Ronald Pickup) and Foreign Secretary Lord Halifax (Stephen Dillane), and making a big speech to Parliament in which he famously declared that they should ?wage war against a monstrous tyranny never surpassed in the dark and lamentable catalogue of human crime.?

Churchill?s refusal to talk peace with Hitler angers Halifax and Chamberlain, who want him replaced. Churchill remains adamant that they stand their ground against negotiations, and we get a different angle on the same story that Christopher Nolan?s brilliant DUNKIRK told earlier this year (Wright also memorably touched on the Dunkirk situation 
in a pretty stunning five-minute tracking shot in ATONEMENT).

The look of the film, shot by cinematographer Bruno Delbonnel (INSIDE LLEWYN DAVIS) is so grey and grim that one wonders if they considered making it in black and white. So many scenes are set in pitch darkness in cramped rooms with what spare lighting there is glowing in an Oliver Stone-ish fashion.

The tropes of period piece historical drama are unavoidable at times but Oldman?s Churchill is such a delicious characterization that I was very forgiving of some unnecessary stylish touches ? like the two shots taken from above that zoom backwards into CGI-imagery depicting the dark of fire world below.

I?ll be shocked, shocked I tells ya, if Oldman doesn?t get an Oscar nomination, and then the award itself as he?s so delightfully dead on here. For this guy, who's one of the best actors working today, to have pulled off such beyond convincing interpretations of such diverse personalities as Sid Vicious, Lee Harvey Oswald, Beethoven and now this is well worth awarding as it for sure is the most striking acting I?ve seen this year.

The supporting cast glows (literally) surrounding Oldman as Kristen Scott Thomas as Mrs. Winston Churchill, Clementine, makes the most of her worrying-wife-back-home archetype with some warm moments, Mendelsohn?s King George VI has a weary yet hopeful air about him, and James helps bring some light to the dark sets especially in an aside where she tells her boss that he?s doing the V for Victory sign the wrong way.

Anthony McCarten contributes a much sharper screenplay than his previous Oscar winner for that category, THE THEORY OF EVERYTHING, and the score, by Dario Marianelli whose worked with Wright on nearly every film he?s made, is nicely understated.


But again, it?s Oldman who makes this an essential film to see this season. His performance may be a lot to take for some moviegoers as he dominates nearly every talky as hell moment, ranting as times in his trembling accent always with a glass of brandy or scotch in his hand and a long cigar sticking out of his mouth, but for me the experience is as sublime as the way the words that the real person put together rang out.

Sure, with WWII and the tried and true Greatest Generation spirit that panders to the elder voters, it?s a prime piece of Oscar-bait, but, for a considerable amount of its running time, DARKEST HOUR mightily transcends that.

More later...

Wednesday, 25 November 2015

CINDERELLA (2015) REVIEW : Old-Fashioned Fairy Tale Without Lose it Magic


Dongeng sebelum tidur kembali dihadirkan di zaman yang sudah serba modern. Sesuatu hal yang menyenangkan ketika akhirnya anak-anak di era ini kembali merasakan dan mengetahui cerita indah di negeri dongeng ini. Tetapi, sayangnya, dongeng-dongeng itu mengalami beberapa perubahan agar bisa mendapatkan pasar yang lebih besar dan lebih universal. Cerita-cerita usang itu entah diceritakan dengan adanya pendewasaan karakter, lebih gelap, atau ingin membuat dongeng tersebut memiliki cerita yang lebih multidimensional daripada sebelumnya.

Snow White, Sleeping Beauty, dan Alice in Wonderland sudah pernah mengalami penceritaan kembali dan mengalami ekspansi di film-film mereka. Dan tak sedikit dari film-film tersebut tak bisa mendapatkan daya magisnya layaknya dongeng-dongeng yang mereka jadikan kiblat. Sekarang, giliran dongeng Cinderella yang dijadikan film live-action oleh Disney dan disutradarai oleh Kenneth Branagh. Uniknya, Cinderella versi baru ini tak perlu mengubah cerita dan mencoba untuk tetap setia dengan sumber aslinya. 


Bagi yang sudah mengenal dongeng Cinderella, pasti sudah sangat tahu seperti apa persisnya cerita dari Cinderella ini. Bermula dari Ella (Lily James) yang hidup bahagia dengan kedua orang tuanya. Tetapi, sang Ibu harus meninggalkan Ella karena sakit yang berkepanjangan. Setelah beberapa tahun, sang Ayah bertemu dengan seseorang bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett). Wanita yang sedang digila-gilai oleh ayah Ella memiliki dua anak, Drisella (Sophie McShera) dan Anastasia (Holliday Grainger). Mereka pun menikah dan Ella kembali memiliki sosok ibu di dalam hidupnya.

Tetapi, ketika sang Ayah kembali merantau, berita buruk menghampiri Ella. Sang ayah meninggal saat perjalanan kembali ke rumah karena sakit yang tak kunjung sembuh. Ibu Tiri Ella dan kedua kakak tirinya menganggap Ella sebagai seorang pembantu yang harus melayaninya setiap saat. Tetapi ditengah penderitaannya, Ella malah bertemu dengan seorang pangeran tampan bernama Kit (Richard Madden) dan dia jatuh cinta padanya. 


Sebuah langkah yang mengejutkan dari Kenneth Branagh, ketika memutuskan untuk membuat film Cinderella miliknya ini menjadi film yang sangat setia dengan dongengnya. Mungkin akan menjadi sebuah resiko yang cukup besar juga, karena Cinderella tak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan dongengnya yang sudah sering penontonnya dengar. Sehingga, penonton merasa tak memiliki alasan untuk harus menyaksikannya dalam layar besar.

Tetapi, Disney tahu benar pangsa mereka, Cinderella pun dikemas dalam kemasan yang menarik sehingga penonton akan berbondong-bondong pergi menyaksikan filmnya. Tanpa perlu mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari dongengnya, Cinderella mampu merekap cerita yang sudah usang itu menjadi sajian dengan tutur yang sangat lembut tanpa meninggalkan kemagisan dongeng aslinya. Ya, 100 menit milik Cinderella ini adalah cara instan untuk mendapatkan cita rasa klasik dongengnya.

Tanpa mengemban misi yang berlebihan, Cinderella berhasil menyajikan sesuatu yang sederhana. Malah, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil mengeluarkan daya magisnya dan menciptakan suasana negeri dongeng yang kental. Juga disokong oleh Chris Weitz dalam departemen naskahnya yang mampu bertutur dengan sangat lembut. Juga diwarnai dialog-dialog cerdas tanpa yang masih menunjukkan kemewahan dan sikap anggun seperti karakter-karakternya. 


Memang tak melulu Cinderella milik Kenneth Branagh ini sangat setia dengan sumber aslinya. Lewat naskah milik Chris Weitz juga, Cinderella menjadi lebih kaya cerita dibandingkan dongeng sebelumnya. Terlebih, pengembangan karakternya pun tak menjadi komikal layaknya sumber aslinya. Para karakter ?terutama karakter antagonis ?menjadi lebih multidimensional dan berhasil memiliki yang sebenarnya bertujuan mengekspansi tetapi dalam batas yang wajar. Bukan serta merta memperluas sudut pandang, tetapi lebih kepada menunjukkan sisi vulnerable dari setiap karakternya.

Cinderella versi Kenneth Branagh ini tak hanya menjual mimpi seorang gadis untuk mendapatkan pria idamannya. Tetapi, ada sisi emosional tentang keluarga, berbuat baik, keberanian, dan cinta yang tak hanya berasal dari pasangan, tetapi dari siapapun itu. Dan sang sutradara berhasil menyampaikan setiap detil pesan dengan sangat baik dan penonton sangat bisa memiliki relasi yang kuat karena bagaimana Kenneth Branagh sangat kuat dalam mengarahkan filmnya.

Tak perlu diragukan masalah production value di dalam film Cinderella. Kostum, setting tempat, dan detil-detil lainnya tentu akan digarap dengan serius. Sehingga, segalanya nampak serasi dan menghibur mata yang memandang layaknya Cinderella yang baru mendapat gaun baru dari sang Ibu Peri. Juga, penataan kamera yang menarik sehingga terlihat memaksimalkan format IMAX yang digunakan di film ini. Tanpa efek tiga dimensi, gambar-gambar di film ini terasa dekat di mata penontonnya. 


Daya magisnya pun dikuatkan oleh performa hebat dari para aktor dan aktrisnya. Lily James sangat berhasil menjadi sosok yang gampang mendapat simpati penonton saat memerankan Cinderella. Begitu pula dengan Cate Blanchett yang tak perlu diragukan lagi memerankan sosok antagonis, Lady Tremaine, tanpa kehilangan keanggunannya. Penampilan singkat tapi memikat dari Helena Bonham Carter sebagai Fairy God Mother juga dapat menarik perhatian penontonnya.

Tanpa perlu memegang ambisi untuk menjadi lebih besar dari sumber dongeng aslinya, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil merangkum dan mencapai segala kemagisan sumber aslinya. Bukan hanya menceritakan kembali, tetapi juga memperkaya cerita dengan menyelipkan pesan-pesan tentang mimpi dan harapan. Maka, Cinderella adalah sebuah bukti bahwa tak perlu berambisi untuk mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari sebuah dongeng. Cukup dengan setia dengan sumber, bertutur dengan lembut dan arahan yang kuat, akan ada sebuah keajaiban datang ke dalamnya.

 

Saturday, 7 November 2015

CINDERELLA (2015) REVIEW : Old-Fashioned Fairy Tale Without Lose it Magic


Dongeng sebelum tidur kembali dihadirkan di zaman yang sudah serba modern. Sesuatu hal yang menyenangkan ketika akhirnya anak-anak di era ini kembali merasakan dan mengetahui cerita indah di negeri dongeng ini. Tetapi, sayangnya, dongeng-dongeng itu mengalami beberapa perubahan agar bisa mendapatkan pasar yang lebih besar dan lebih universal. Cerita-cerita usang itu entah diceritakan dengan adanya pendewasaan karakter, lebih gelap, atau ingin membuat dongeng tersebut memiliki cerita yang lebih multidimensional daripada sebelumnya.

Snow White, Sleeping Beauty, dan Alice in Wonderland sudah pernah mengalami penceritaan kembali dan mengalami ekspansi di film-film mereka. Dan tak sedikit dari film-film tersebut tak bisa mendapatkan daya magisnya layaknya dongeng-dongeng yang mereka jadikan kiblat. Sekarang, giliran dongeng Cinderella yang dijadikan film live-action oleh Disney dan disutradarai oleh Kenneth Branagh. Uniknya, Cinderella versi baru ini tak perlu mengubah cerita dan mencoba untuk tetap setia dengan sumber aslinya. 


Bagi yang sudah mengenal dongeng Cinderella, pasti sudah sangat tahu seperti apa persisnya cerita dari Cinderella ini. Bermula dari Ella (Lily James) yang hidup bahagia dengan kedua orang tuanya. Tetapi, sang Ibu harus meninggalkan Ella karena sakit yang berkepanjangan. Setelah beberapa tahun, sang Ayah bertemu dengan seseorang bernama Lady Tremaine (Cate Blanchett). Wanita yang sedang digila-gilai oleh ayah Ella memiliki dua anak, Drisella (Sophie McShera) dan Anastasia (Holliday Grainger). Mereka pun menikah dan Ella kembali memiliki sosok ibu di dalam hidupnya.

Tetapi, ketika sang Ayah kembali merantau, berita buruk menghampiri Ella. Sang ayah meninggal saat perjalanan kembali ke rumah karena sakit yang tak kunjung sembuh. Ibu Tiri Ella dan kedua kakak tirinya menganggap Ella sebagai seorang pembantu yang harus melayaninya setiap saat. Tetapi ditengah penderitaannya, Ella malah bertemu dengan seorang pangeran tampan bernama Kit (Richard Madden) dan dia jatuh cinta padanya. 


Sebuah langkah yang mengejutkan dari Kenneth Branagh, ketika memutuskan untuk membuat film Cinderella miliknya ini menjadi film yang sangat setia dengan dongengnya. Mungkin akan menjadi sebuah resiko yang cukup besar juga, karena Cinderella tak menyuguhkan sesuatu yang berbeda dengan dongengnya yang sudah sering penontonnya dengar. Sehingga, penonton merasa tak memiliki alasan untuk harus menyaksikannya dalam layar besar.

Tetapi, Disney tahu benar pangsa mereka, Cinderella pun dikemas dalam kemasan yang menarik sehingga penonton akan berbondong-bondong pergi menyaksikan filmnya. Tanpa perlu mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari dongengnya, Cinderella mampu merekap cerita yang sudah usang itu menjadi sajian dengan tutur yang sangat lembut tanpa meninggalkan kemagisan dongeng aslinya. Ya, 100 menit milik Cinderella ini adalah cara instan untuk mendapatkan cita rasa klasik dongengnya.

Tanpa mengemban misi yang berlebihan, Cinderella berhasil menyajikan sesuatu yang sederhana. Malah, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil mengeluarkan daya magisnya dan menciptakan suasana negeri dongeng yang kental. Juga disokong oleh Chris Weitz dalam departemen naskahnya yang mampu bertutur dengan sangat lembut. Juga diwarnai dialog-dialog cerdas tanpa yang masih menunjukkan kemewahan dan sikap anggun seperti karakter-karakternya. 


Memang tak melulu Cinderella milik Kenneth Branagh ini sangat setia dengan sumber aslinya. Lewat naskah milik Chris Weitz juga, Cinderella menjadi lebih kaya cerita dibandingkan dongeng sebelumnya. Terlebih, pengembangan karakternya pun tak menjadi komikal layaknya sumber aslinya. Para karakter ?terutama karakter antagonis ?menjadi lebih multidimensional dan berhasil memiliki yang sebenarnya bertujuan mengekspansi tetapi dalam batas yang wajar. Bukan serta merta memperluas sudut pandang, tetapi lebih kepada menunjukkan sisi vulnerable dari setiap karakternya.

Cinderella versi Kenneth Branagh ini tak hanya menjual mimpi seorang gadis untuk mendapatkan pria idamannya. Tetapi, ada sisi emosional tentang keluarga, berbuat baik, keberanian, dan cinta yang tak hanya berasal dari pasangan, tetapi dari siapapun itu. Dan sang sutradara berhasil menyampaikan setiap detil pesan dengan sangat baik dan penonton sangat bisa memiliki relasi yang kuat karena bagaimana Kenneth Branagh sangat kuat dalam mengarahkan filmnya.

Tak perlu diragukan masalah production value di dalam film Cinderella. Kostum, setting tempat, dan detil-detil lainnya tentu akan digarap dengan serius. Sehingga, segalanya nampak serasi dan menghibur mata yang memandang layaknya Cinderella yang baru mendapat gaun baru dari sang Ibu Peri. Juga, penataan kamera yang menarik sehingga terlihat memaksimalkan format IMAX yang digunakan di film ini. Tanpa efek tiga dimensi, gambar-gambar di film ini terasa dekat di mata penontonnya. 


Daya magisnya pun dikuatkan oleh performa hebat dari para aktor dan aktrisnya. Lily James sangat berhasil menjadi sosok yang gampang mendapat simpati penonton saat memerankan Cinderella. Begitu pula dengan Cate Blanchett yang tak perlu diragukan lagi memerankan sosok antagonis, Lady Tremaine, tanpa kehilangan keanggunannya. Penampilan singkat tapi memikat dari Helena Bonham Carter sebagai Fairy God Mother juga dapat menarik perhatian penontonnya.

Tanpa perlu memegang ambisi untuk menjadi lebih besar dari sumber dongeng aslinya, Cinderella garapan Kenneth Branagh ini berhasil merangkum dan mencapai segala kemagisan sumber aslinya. Bukan hanya menceritakan kembali, tetapi juga memperkaya cerita dengan menyelipkan pesan-pesan tentang mimpi dan harapan. Maka, Cinderella adalah sebuah bukti bahwa tak perlu berambisi untuk mengekspansi atau bertutur lebih dewasa dari sebuah dongeng. Cukup dengan setia dengan sumber, bertutur dengan lembut dan arahan yang kuat, akan ada sebuah keajaiban datang ke dalamnya.