Showing posts with label Jake Gyllenhaal. Show all posts
Showing posts with label Jake Gyllenhaal. Show all posts

Wednesday, 25 November 2015

EVEREST (2015) REVIEW : Not Really Hike to Top of the Mountain


Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot besar itu diperuntukkan bagi film-film yang sudah siap bersaing di ajang-ajang bergengsi seperti Golden Globe Awards atau pun Academy Awards. Akan banyak sutradara yang bersaing untuk mendapatkan lini terdepan sebagai jagoan untuk memenangkan beragam penghargaan di dalam ajang bergengsi tersebut.

Salah satu film yang memiliki konten tersebut adalah Everest, arahan dari Baltazar Kormakur. Film ini pun terlihat memiliki konten yang setidaknya bisa diperhitungkan di dalam ajang-ajang bergengsi. Diadaptasi dari sebuah buku berjudul Into Thin Air, Baltazar Kormakur mengarahkan sebuah film yang didasari oleh kejadian nyata tentang para pendaki yang kesulitan untuk mencapai puncak gunung tertinggi dunia. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam film ini seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Keira Knightley, dan Jake Gyllenhaal.

Terlalu memiliki ambisi untuk menjadikan film arahannya agar mendapatkan sebuah pengakuan di ajang bergengsi pun malah menyerang balik dirinya. Everest adalah sebuah film drama berdasarkan kisah nyata yang memang memiliki konten yang berpotensi untuk dapat bersaing di sebuah ajang penghargaan. Hanya saja, Baltazar Kormakur memiliki pengarahan yang sangat hati-hati dan malah cenderung bermain aman. Hasilnya, Everest pun tak dapat memberikan performa yang sesuai dengan ekspektasi penontonnya. 


Rob Hall (Jason Clarke), seorang pendaki yang ingin mencapai puncak tertinggi di dunia yaitu gunung Everest. Dia pun mengajak teman-temannya seperti Beck (Josh Brolin), Doug (John Hawkes), dan masih banyak lagi untuk melakukan ekspedisi terakhir tersebut. Setibanya di sana, dia bertemu dengan Jon (Michael Kelly) dan Helen (Emily Watson) untuk melakukan rencana perjalanan agar ekspedisi yang mereka lakukan berhasil. 

Ketika semua sudah dipersiapkan, mulai dari kesehatan, jalanan di sana, dan banyak hal lainnya, mereka memulai perjalanan ekspedisi mereka. Tetapi, mereka harus tiba di sana tepat waktu agar tak terkena badai salju besar yang bisa menewaskan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka di sana tak terlalu lancar. Mereka harus dihadapkan oleh beberapa masalah kecil yang tak membuat mereka terhambat. Mereka berhasil menuju puncak, tetapi ketika mereka melakukan perjalanan kembali ke dataran rendah, badai salju besar tersebut menerpa mereka.


Badai salju tak hanya datang menerpa para karakter yang ada di dalam film Everest, tetapi badai itu pun menyerang keseluruhan presentasi yang diarahkan oleh Kormakur. Baltazar Kormakur tak berusaha untuk menjadikan Everest memiliki performa yang sama tingginya dengan latar tempat utama mereka. Banyak sekali beberapa poin yang hilang ketika menyaksikan Everest secara utuh dengan durasi mencapai 121 menit.

Baltazar Kormakur ingin menjadikan Everest sebagai film yang memiliki kekuatan emosional. Dengan banyaknya nama terkenal di dalam lini pemainnya, Everest pun tak bisa memaksimalkan salah satu poin penting di dalam sebuah film. Everest ingin membuat filmnya menjadi sebuah film slow-burn drama dengan pengaruh yang besar bagi penontonnya. Sayangnya, Baltazar Kormakur belum mempunyai kompetensi untuk mengangkat semua cerita yang ada di dalamnya. 


Jalan terjal film Everest pun terlalu banyak. Tak seperti karakternya yang berhasil menuju puncak gunung tertinggi tersebut, Everest tak berhasil mencapai puncak emosi yang seharusnya menjadi senjata utama bagi Everest. Permainan emosi yang dihadirkan oleh Baltazar Kormakur tetap hadir, hanya saja di beberapa bagian tertentu. Sehingga, tujuan utama Everest untuk menghadirkan pengaruh yang besar bagi penontonnya pun tak bisa tercapai maksimal.  

Memiliki banyak karakter yang ikut andil ke dalam filmnya pun membuat Baltazar Kormakur kebingungan untuk memberikan spotlight kepada siapa di filmnya. Ketika seharusnya spotlight besar ditujukan kepada Jason Clarke, jatuhnya semua karakter memiliki porsi yang sama dan ini bukanlah sesuatu yang baik. Hal tersebut lah yang memengaruhi bagaimana performa Everest yang menyebar segala tensinya ke setiap karakternya dengan merata. Sehingga, tak ada adegan yang membuat siginifikansi emosi bagi penontonnya.

Dengan durasi mencapai 120 menit, beberapa bagian di film arahan Baltazar Kormakur ini pun terasa hambar. Penonton akan kebingungan dan terus mencari mana yang menjadi sebuah titik puncak dari Everest yang seharusnya memiliki dasar konten yang kuat. Di dalam presentasi secara keseluruhan, Baltazar Kormakur lupa dengan tujuan dan konten yang bisa menjadikan film Everest bisa tampil jauh lebih baik dari apa yang sudah dikemas sekarang.


Beruntung adalah bagaimana Everest mampu menampikan visual-visual menarik. Hal tersebut setidaknya membuat penonton bisa merasakan perjalanan ekspedisi menuju salah satu gunung tertinggi di dunia. Dengan berbagai cara pengambilan gambar yang menarik, setidaknya Everest memiliki sisi positif di bagian teknisnya. Pun, cara pengambilan gambar yang menarik itu berhasil mendukung format tiga dimensi sebagai salah satu alternatif cara untuk menonton film ini. 

Memiliki konten yang bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang dapat bersaing di ajang bergengsi, nyatanya Everest tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Everest seharusnya mampu untuk tampil lebih maksimal dari pada yang hasil akhir yang diarahkan oleh Baltazar Kormakur. Arahan darinya tak bisa menangkap emosi yang secara konstan hadir di dalam 120 menit durasinya. Pun, dengan jajaran aktor-aktris dengan nama yang besar, Everest pun tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Beberapa bagian film ini pun terasa hambar dan tak semenarik dari seharusnya.
Film Everest pun tak lupa untuk dirilis dalam format tiga dimensi dan salah satunya dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format tiga dimensi IMAX.

DEPTH
 

Kemegahan luar biasa ditampilkan oleh film Everest lewat teknik pengambilan gambar. Dan dengan format tiga dimensi, kedalaman gambar pun tampak nyata

POP OUT 
Meski tak berapa banyak, efek ini di dalam format tiga dimensinya menyokong suasana dingin filmnya lewat butiran-butiran salju yang berhasil keluar dari layar.
Format tiga dimensi dari Everest sangat layak untuk disaksikan. Terlebih, ketika kalian menyaksikannya dalam format IMAX yang berhasil menangkap kemegahan Everest.

SOUTHPAW (2015) REVIEW : Stellar Performance Inside The Mediocrity


Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergengsi. Apalagi di akhir-akhir tahun seperti ini, adalah waktu yang tepat untuk merilis film-film dengan tema seperti ini. Southpaw adalah salah satu proyek yang mungkin memiliki materi itu untuk bisa mendapatkan perhatian di ajang-ajang penghargaan bergengsi. Apalagi, film ini disutradarai oleh Antoine Fuqua yang pernah berhasil mendapatkan perhatian para juri ajang penghargaan lewat Training Day.

Southpaw dibintangi oleh Jake Gyllenhaal, Rachel McAdams, dan banyak bintang lainnya yang juga memiliki reputasi yang sangat baik di dalam filmnya. Jelas, Antoine Fuqua berharap banyak dengan apa yang dia arahkan di proyek film terbarunya. Pun juga, dengan materi film Southpaw memiliki banyak sekali potensi untuk menjadikannya sebuah film yang mumpuni untuk disaingkan dengan film-film lainnya yang disiapkan sebagai film-film awards nods.

Memang, film arahan Antoine Fuqua ini tak bisa dipungkiri memiliki materi awards yang bisa diandalkan sebagai poin utama dari film ini. Southpaw memang berhasil menyajikan jajaran pemain dengan performa yang kuat. Sayangnya, unsur klise dan beberapa arahan Antoine Fuqua yang terkesan minimalis membuat Southpaw tak bisa memaksimalkan potensi dan materi yang ada di dalamnya. Bisa jadi, Southpaw tak bisa mencapai tujuan utama untuk mendapatkan perhatian di ajang penghargaan bergengsi tahun depan.


Billy Hope (Jake Gyllenhaal) seorang petinju ternama yang mendapatkan gelar juara di mana-mana. Ketangguhannya di atas ring, memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Betapa tangguhnya dia, tetap tak bisa dipungkiri bahwa dia adalah seorang ayah dari satu orang anak hasil pernikahannya dengan Maureen (Rachel McAdams). Sang istri setia menemani Billy menyelesaikan pertandingannya. Dan suatu ketika nyawa istrinya direnggut oleh musuhnya di atas Ring ketika mendatangi jamuan makan malam.

Kehidupan Billy Hope pun menjadi kacau balau. Dia sangat emosional dan hubungannya dengan sang anak, Leila (Oona Laurence) pun renggang. Hingga suatu ketika, Leila dan Billy harus hidup terpisah karena Billy dianggap tidak bisa mendidik anak dengan baik. Hal ini semakin menghancurkan kehidupan Billy. Dia pun berusaha bangkit lewat dengan bakat yang dia punya yaitu dunia tinjunya. Dia ingin membuktikan bahwa dia sedang baik-baik saja kepada dunia dan juga anaknya. 


Ketika foto teaser dari Jake Gyllenhaal dirilis di media sosial atau pun portal berita film, banyak sekali respon dari orang yang mengatakan bahwa film ini bisa mendapatkan perhatian di ajang bergengsi. Terlebih, performa Jake Gyllenhaal di setiap film memang tak main-main. Pun benar, Jake Gyllenhaal bermain kelewat apik di dalam film terbaru arahan dari Antoine Fuqua ini. Dia terlihat totalitas menjadi seorang yang badung tetapi memiliki bagian sentimentil tersendiri di dalam dirinya.

Performa Gyllenhaal di dalam film Southpaw memang memiliki performa yang luar biasa. Hanya saja, apa yang diperankan oleh Gyllenhaal ini bukan berarti akan mudah mendapatkan perhatian dari para juri di ajang penghargaan. Bukan berarti itu buruk, pun performa miliknya bisa mengangkat presentasi keseluruhan dari Southpaw yang malah cenderung monoton. Performanya dan juga chemistry Gyllenhaal dengan pemainnya adalah penyelamat dari presentasi keseluruhan dari Southpaw arahan Antoine Fuqua.

Southpaw memang akan cenderung memiliki formula-formula yang sudah pernah ada sebelumnya. Cerita seseorang from zero to hero sebagai momok utama di dalam filmnya. Dengan formula yang sudah pernah dipakai sebelumnya, jelas tak bisa dipungkiri bahwa Southpaw memiliki cerita-cerita perjuangan yang klise di beberapa adegan. Hanya saja dibumbui dengan human drama menarik antar ayah-anak yang bisa memberikan konflik di tengah perjuangan Billy Hope. 


Arahan milik Antoine Fuqua pun makin menguatkan kesan mediocre yang ditambatkan ke dalam filmnya. Southpaw pun terkesan episodik di setiap babak penceritaannya. Pun dengan pengarahan yang tak konsisten dari Antoine Fuqua. Plot sampingan di dalam film Southpaw pun terlalu banyak. Hasilnya, di paruh kedua filmnya, film ini mengalami penurunan tensi dan tone cerita terkesan berubah. Dan adegan-adegan klise sedikit demi sedikit mulai bermunculan.

Paruh kedua film ini pun mulai tersendat-sendat. Kebangkitan karakter Billy Hope sebenarnya menjadi poin penting dari filmnya. Hanya saja, poin tersebut terkesan hanya sebagai tempelan untuk menambah kerumitan plot utuh dari film Southpaw. Penurunan performa di bagian tengah film ini pun ditambahi dengan pemilihan Forest Whitaker sebagai karakter pendukung yang malah terkesan tak bersemangat. Karakternya sebagai penyulut api semangat dan mendominasi karakter Billy Hope, malah menjauh dari kesan yang harusnya hendak disampaikan oleh Antoine Fuqua.

Presentasi secara keseluruhan di dalam film Southpaw memang tak memiliki sesuatu yang mewah selain dari jajaran nama aktor-aktris dan performa dari mereka. Sehingga, Southpaw tak punya cukup tenaga untuk mendapatkan perhatian untuk bisa bersaing di ajang penghargaan. Tetapi, Southpaw cukup berhasil memberikan performa yang membekas di hati penontonnya, terlebih yang ingin menonton sajian alternatif di tengah film-film yang penuh dengan visual efek. 


Ingin filmnya menjadi salah satu film yang akan mendapatkan perhatian di ajang-ajang bergengsi ternyata malah menyerang balik Antoine Fuqua selaku sutradara. Southpaw tak memiliki presentasi yang sempurna dan cenderung biasa namun dibekali dengan performa luar biasa dari jajaran aktor dan aktrisnya. Apalagi performa Gyllenhaal lah yang menyelamatkan dan menghidupkan film arahan dari Antoine Fuqua ini. Meski tak dapat perhatian dari para juri ajang penghargaan, setidaknya Southpaw bisa mendapatkan hati penontonnya. Dan juga bisa digunakan sebagai alternatif tontonan bagi penonton yang sudah bosan dijejali film penuh visual efek yang bombastis.

Saturday, 7 November 2015

EVEREST (2015) REVIEW : Not Really Hike to Top of the Mountain


Film-film dengan berbujet besar dan penuh ledakan yang diedarkan selama musim panas pun akhirnya berakhir. Di kuartal akhir tahun, slot-slot besar itu diperuntukkan bagi film-film yang sudah siap bersaing di ajang-ajang bergengsi seperti Golden Globe Awards atau pun Academy Awards. Akan banyak sutradara yang bersaing untuk mendapatkan lini terdepan sebagai jagoan untuk memenangkan beragam penghargaan di dalam ajang bergengsi tersebut.

Salah satu film yang memiliki konten tersebut adalah Everest, arahan dari Baltazar Kormakur. Film ini pun terlihat memiliki konten yang setidaknya bisa diperhitungkan di dalam ajang-ajang bergengsi. Diadaptasi dari sebuah buku berjudul Into Thin Air, Baltazar Kormakur mengarahkan sebuah film yang didasari oleh kejadian nyata tentang para pendaki yang kesulitan untuk mencapai puncak gunung tertinggi dunia. Beberapa nama besar pun ikut andil di dalam film ini seperti Jason Clarke, Josh Brolin, Keira Knightley, dan Jake Gyllenhaal.

Terlalu memiliki ambisi untuk menjadikan film arahannya agar mendapatkan sebuah pengakuan di ajang bergengsi pun malah menyerang balik dirinya. Everest adalah sebuah film drama berdasarkan kisah nyata yang memang memiliki konten yang berpotensi untuk dapat bersaing di sebuah ajang penghargaan. Hanya saja, Baltazar Kormakur memiliki pengarahan yang sangat hati-hati dan malah cenderung bermain aman. Hasilnya, Everest pun tak dapat memberikan performa yang sesuai dengan ekspektasi penontonnya. 


Rob Hall (Jason Clarke), seorang pendaki yang ingin mencapai puncak tertinggi di dunia yaitu gunung Everest. Dia pun mengajak teman-temannya seperti Beck (Josh Brolin), Doug (John Hawkes), dan masih banyak lagi untuk melakukan ekspedisi terakhir tersebut. Setibanya di sana, dia bertemu dengan Jon (Michael Kelly) dan Helen (Emily Watson) untuk melakukan rencana perjalanan agar ekspedisi yang mereka lakukan berhasil. 

Ketika semua sudah dipersiapkan, mulai dari kesehatan, jalanan di sana, dan banyak hal lainnya, mereka memulai perjalanan ekspedisi mereka. Tetapi, mereka harus tiba di sana tepat waktu agar tak terkena badai salju besar yang bisa menewaskan mereka. Sayangnya, perjalanan mereka di sana tak terlalu lancar. Mereka harus dihadapkan oleh beberapa masalah kecil yang tak membuat mereka terhambat. Mereka berhasil menuju puncak, tetapi ketika mereka melakukan perjalanan kembali ke dataran rendah, badai salju besar tersebut menerpa mereka.


Badai salju tak hanya datang menerpa para karakter yang ada di dalam film Everest, tetapi badai itu pun menyerang keseluruhan presentasi yang diarahkan oleh Kormakur. Baltazar Kormakur tak berusaha untuk menjadikan Everest memiliki performa yang sama tingginya dengan latar tempat utama mereka. Banyak sekali beberapa poin yang hilang ketika menyaksikan Everest secara utuh dengan durasi mencapai 121 menit.

Baltazar Kormakur ingin menjadikan Everest sebagai film yang memiliki kekuatan emosional. Dengan banyaknya nama terkenal di dalam lini pemainnya, Everest pun tak bisa memaksimalkan salah satu poin penting di dalam sebuah film. Everest ingin membuat filmnya menjadi sebuah film slow-burn drama dengan pengaruh yang besar bagi penontonnya. Sayangnya, Baltazar Kormakur belum mempunyai kompetensi untuk mengangkat semua cerita yang ada di dalamnya. 


Jalan terjal film Everest pun terlalu banyak. Tak seperti karakternya yang berhasil menuju puncak gunung tertinggi tersebut, Everest tak berhasil mencapai puncak emosi yang seharusnya menjadi senjata utama bagi Everest. Permainan emosi yang dihadirkan oleh Baltazar Kormakur tetap hadir, hanya saja di beberapa bagian tertentu. Sehingga, tujuan utama Everest untuk menghadirkan pengaruh yang besar bagi penontonnya pun tak bisa tercapai maksimal.  

Memiliki banyak karakter yang ikut andil ke dalam filmnya pun membuat Baltazar Kormakur kebingungan untuk memberikan spotlight kepada siapa di filmnya. Ketika seharusnya spotlight besar ditujukan kepada Jason Clarke, jatuhnya semua karakter memiliki porsi yang sama dan ini bukanlah sesuatu yang baik. Hal tersebut lah yang memengaruhi bagaimana performa Everest yang menyebar segala tensinya ke setiap karakternya dengan merata. Sehingga, tak ada adegan yang membuat siginifikansi emosi bagi penontonnya.

Dengan durasi mencapai 120 menit, beberapa bagian di film arahan Baltazar Kormakur ini pun terasa hambar. Penonton akan kebingungan dan terus mencari mana yang menjadi sebuah titik puncak dari Everest yang seharusnya memiliki dasar konten yang kuat. Di dalam presentasi secara keseluruhan, Baltazar Kormakur lupa dengan tujuan dan konten yang bisa menjadikan film Everest bisa tampil jauh lebih baik dari apa yang sudah dikemas sekarang.


Beruntung adalah bagaimana Everest mampu menampikan visual-visual menarik. Hal tersebut setidaknya membuat penonton bisa merasakan perjalanan ekspedisi menuju salah satu gunung tertinggi di dunia. Dengan berbagai cara pengambilan gambar yang menarik, setidaknya Everest memiliki sisi positif di bagian teknisnya. Pun, cara pengambilan gambar yang menarik itu berhasil mendukung format tiga dimensi sebagai salah satu alternatif cara untuk menonton film ini. 

Memiliki konten yang bisa masuk menjadi salah satu daftar film yang dapat bersaing di ajang bergengsi, nyatanya Everest tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Everest seharusnya mampu untuk tampil lebih maksimal dari pada yang hasil akhir yang diarahkan oleh Baltazar Kormakur. Arahan darinya tak bisa menangkap emosi yang secara konstan hadir di dalam 120 menit durasinya. Pun, dengan jajaran aktor-aktris dengan nama yang besar, Everest pun tak bisa memaksimalkan hal tersebut. Beberapa bagian film ini pun terasa hambar dan tak semenarik dari seharusnya.
Film Everest pun tak lupa untuk dirilis dalam format tiga dimensi dan salah satunya dirilis dalam format IMAX 3D. Berikut rekapan format tiga dimensi IMAX.

DEPTH
 

Kemegahan luar biasa ditampilkan oleh film Everest lewat teknik pengambilan gambar. Dan dengan format tiga dimensi, kedalaman gambar pun tampak nyata

POP OUT 
Meski tak berapa banyak, efek ini di dalam format tiga dimensinya menyokong suasana dingin filmnya lewat butiran-butiran salju yang berhasil keluar dari layar.
Format tiga dimensi dari Everest sangat layak untuk disaksikan. Terlebih, ketika kalian menyaksikannya dalam format IMAX yang berhasil menangkap kemegahan Everest.

SOUTHPAW (2015) REVIEW : Stellar Performance Inside The Mediocrity


Film bertema olahraga dengan nilai-nilai kemanusiaan, mungkin menjadi salah satu film yang berpotensi ikut dalam ajang penghargaan bergengsi. Apalagi di akhir-akhir tahun seperti ini, adalah waktu yang tepat untuk merilis film-film dengan tema seperti ini. Southpaw adalah salah satu proyek yang mungkin memiliki materi itu untuk bisa mendapatkan perhatian di ajang-ajang penghargaan bergengsi. Apalagi, film ini disutradarai oleh Antoine Fuqua yang pernah berhasil mendapatkan perhatian para juri ajang penghargaan lewat Training Day.

Southpaw dibintangi oleh Jake Gyllenhaal, Rachel McAdams, dan banyak bintang lainnya yang juga memiliki reputasi yang sangat baik di dalam filmnya. Jelas, Antoine Fuqua berharap banyak dengan apa yang dia arahkan di proyek film terbarunya. Pun juga, dengan materi film Southpaw memiliki banyak sekali potensi untuk menjadikannya sebuah film yang mumpuni untuk disaingkan dengan film-film lainnya yang disiapkan sebagai film-film awards nods.

Memang, film arahan Antoine Fuqua ini tak bisa dipungkiri memiliki materi awards yang bisa diandalkan sebagai poin utama dari film ini. Southpaw memang berhasil menyajikan jajaran pemain dengan performa yang kuat. Sayangnya, unsur klise dan beberapa arahan Antoine Fuqua yang terkesan minimalis membuat Southpaw tak bisa memaksimalkan potensi dan materi yang ada di dalamnya. Bisa jadi, Southpaw tak bisa mencapai tujuan utama untuk mendapatkan perhatian di ajang penghargaan bergengsi tahun depan.


Billy Hope (Jake Gyllenhaal) seorang petinju ternama yang mendapatkan gelar juara di mana-mana. Ketangguhannya di atas ring, memang sudah tidak bisa diragukan lagi. Betapa tangguhnya dia, tetap tak bisa dipungkiri bahwa dia adalah seorang ayah dari satu orang anak hasil pernikahannya dengan Maureen (Rachel McAdams). Sang istri setia menemani Billy menyelesaikan pertandingannya. Dan suatu ketika nyawa istrinya direnggut oleh musuhnya di atas Ring ketika mendatangi jamuan makan malam.

Kehidupan Billy Hope pun menjadi kacau balau. Dia sangat emosional dan hubungannya dengan sang anak, Leila (Oona Laurence) pun renggang. Hingga suatu ketika, Leila dan Billy harus hidup terpisah karena Billy dianggap tidak bisa mendidik anak dengan baik. Hal ini semakin menghancurkan kehidupan Billy. Dia pun berusaha bangkit lewat dengan bakat yang dia punya yaitu dunia tinjunya. Dia ingin membuktikan bahwa dia sedang baik-baik saja kepada dunia dan juga anaknya. 


Ketika foto teaser dari Jake Gyllenhaal dirilis di media sosial atau pun portal berita film, banyak sekali respon dari orang yang mengatakan bahwa film ini bisa mendapatkan perhatian di ajang bergengsi. Terlebih, performa Jake Gyllenhaal di setiap film memang tak main-main. Pun benar, Jake Gyllenhaal bermain kelewat apik di dalam film terbaru arahan dari Antoine Fuqua ini. Dia terlihat totalitas menjadi seorang yang badung tetapi memiliki bagian sentimentil tersendiri di dalam dirinya.

Performa Gyllenhaal di dalam film Southpaw memang memiliki performa yang luar biasa. Hanya saja, apa yang diperankan oleh Gyllenhaal ini bukan berarti akan mudah mendapatkan perhatian dari para juri di ajang penghargaan. Bukan berarti itu buruk, pun performa miliknya bisa mengangkat presentasi keseluruhan dari Southpaw yang malah cenderung monoton. Performanya dan juga chemistry Gyllenhaal dengan pemainnya adalah penyelamat dari presentasi keseluruhan dari Southpaw arahan Antoine Fuqua.

Southpaw memang akan cenderung memiliki formula-formula yang sudah pernah ada sebelumnya. Cerita seseorang from zero to hero sebagai momok utama di dalam filmnya. Dengan formula yang sudah pernah dipakai sebelumnya, jelas tak bisa dipungkiri bahwa Southpaw memiliki cerita-cerita perjuangan yang klise di beberapa adegan. Hanya saja dibumbui dengan human drama menarik antar ayah-anak yang bisa memberikan konflik di tengah perjuangan Billy Hope. 


Arahan milik Antoine Fuqua pun makin menguatkan kesan mediocre yang ditambatkan ke dalam filmnya. Southpaw pun terkesan episodik di setiap babak penceritaannya. Pun dengan pengarahan yang tak konsisten dari Antoine Fuqua. Plot sampingan di dalam film Southpaw pun terlalu banyak. Hasilnya, di paruh kedua filmnya, film ini mengalami penurunan tensi dan tone cerita terkesan berubah. Dan adegan-adegan klise sedikit demi sedikit mulai bermunculan.

Paruh kedua film ini pun mulai tersendat-sendat. Kebangkitan karakter Billy Hope sebenarnya menjadi poin penting dari filmnya. Hanya saja, poin tersebut terkesan hanya sebagai tempelan untuk menambah kerumitan plot utuh dari film Southpaw. Penurunan performa di bagian tengah film ini pun ditambahi dengan pemilihan Forest Whitaker sebagai karakter pendukung yang malah terkesan tak bersemangat. Karakternya sebagai penyulut api semangat dan mendominasi karakter Billy Hope, malah menjauh dari kesan yang harusnya hendak disampaikan oleh Antoine Fuqua.

Presentasi secara keseluruhan di dalam film Southpaw memang tak memiliki sesuatu yang mewah selain dari jajaran nama aktor-aktris dan performa dari mereka. Sehingga, Southpaw tak punya cukup tenaga untuk mendapatkan perhatian untuk bisa bersaing di ajang penghargaan. Tetapi, Southpaw cukup berhasil memberikan performa yang membekas di hati penontonnya, terlebih yang ingin menonton sajian alternatif di tengah film-film yang penuh dengan visual efek. 


Ingin filmnya menjadi salah satu film yang akan mendapatkan perhatian di ajang-ajang bergengsi ternyata malah menyerang balik Antoine Fuqua selaku sutradara. Southpaw tak memiliki presentasi yang sempurna dan cenderung biasa namun dibekali dengan performa luar biasa dari jajaran aktor dan aktrisnya. Apalagi performa Gyllenhaal lah yang menyelamatkan dan menghidupkan film arahan dari Antoine Fuqua ini. Meski tak dapat perhatian dari para juri ajang penghargaan, setidaknya Southpaw bisa mendapatkan hati penontonnya. Dan juga bisa digunakan sebagai alternatif tontonan bagi penonton yang sudah bosan dijejali film penuh visual efek yang bombastis.