Saturday 7 November 2015

PIXELS (2015) REVIEW : Wasted 80?s Arcade Games Excitement


Banyak orang bilang, tahun 80an adalah sebuah era emas di mana banyak sekali sesuatu yang ikonik yang berasal dari era tersebut. Pun, pengaruh-pengaruh tata busana, musik, dan hal lain di era 80 itu diadaptasi lagi di era moderen ini. Dan, salah satu yang menjadi sebuah ikon dari tahun 80 adalah permainan analog. Permainan sangat terkenal di era tersebut dan melahirkan beberapa nama-nama permainan terkenal seperti Pac-Man, Donkey Kong, ataupun Space Invaders.

Dengan adanya dasar dari permainan analog yang biasa dikenal dengan Arcade ini, Patrick Jean mencari sudut pandang lain tentang permainan-permainan ini dalam sebuah film pendek. Chris Columbus yang merasakan adanya potensi dari film pendek milik Patrick Jean, ingin menjadikannya menjadi sebuah film utuh untuk layar lebar. Dengan judul yang sama ?Pixels ?Chris Columbus sendiri yang akan menangani film ini.


Menjadikan Pixels sebagai sebuah film aksi komedi, Chris Columbus mengajak Adam Sandler sebagai pemain utama di dalam film terbarunya. Adam Sandler dan film komedi lambat laun semakin menunjukkan kemundurannya. Beberapa filmnya tak memberikan performa menyenangkan yang dapat membuat penontonnya terhibur. Dan hal itu kembali terulang di dalam film milik Chris Columbus yang paling baru ini.

Di dalam Pixels, menceritakan tentang Brenner (Adam Sandler) yang pernah menjadi orang yang paling hebat di sebuah permainan analog saat masih belia. Brenner mengikuti sebuah kompetisi permainan analog untuk menunjukkan bahwa dia yang paling hebat. Di tempat kompetisi tersebut akan merekam permainan mereka ke dalam sebuah kapsul dan ditunjukkan ke satelit mereka dan ditujukan kepada planet baru di luar sana. 

Sayangnya, Brenner tak bisa mengalahkan Eddie (Peter Dinklage) di permainan Donkey Kong dan gagal menjadi yang terbaik. Setelah beranjak dewasa, Brenner menjadi teknisi alat elektronik dan melupakan kemahirannya dalam permainan analog tersebut. Tetapi, ada satu hal yang membuat keahlian Brenner kembali digunakan. Kapsul yang merekam permainan analog di luar angkasa tersebut disalahartikan oleh makhluk luar angkasa sebagai sebuah deklarasi perang. Alien tersebut membentuk diri sebagai sebuah permainan 8-bit dan menyerang bumi. 


Memiliki sebuah excitement yang menarik, tak lantas membuat Pixels milik Chris Columbus ini akan sama menariknya dengan excitement yang ditawarkan. Konflik yang ditawarkan di dalam Pixels memang tak memiliki sesuatu yang besar dan itu sebenarnya bukan menjadi masalah. Hanya saja, menjadikannya sebuah film komedi, Chris Columbus harusnya memiliki visi untuk menjadikan komedinya menjadi sesuatu yang universal bagi penontonnya.

Tim Herlihy selaku penulis naskah dari Pixels, melulu menyelipkan sebuah slapstik komedi yang semakin lama semakin basi. Menunjukkan tingkah laku yang sangat tak sopan dari karakter-karakternya tak lantas membuat filmnya menjadi sebuah film yang akan membuat penonton tertawa. Pun, Chris Columbus sangat gagal membuat penontonnya tertawa, meskipun dia tahu mana momen yang diharapkan oleh Chris Columbus menjadi momen untuk mengocok perut penontonnya.

Pun, komedi yang diangkat masih tak jauh-jauh dari sensualitas yang cenderung mendiskriminasi dan membuat penontonnya menggelengkan kepala. Pun hal tersebut menjadi sebuah minus besar, terlebih Pixels ditujukan sebagai sebuah film musim panas untuk keluarga. Dialog-dialog kasar dan disampaikan dengan nada tinggi oleh karakternya yang digunakan sebagai momen komedik di film ini malah terasa sangat menganggu penontonnya.


Performa tak menyenangkan Pixels tak berhenti dari bagaimana lelucon di dalam setiap momen film ini yang gagal disampaikan dengan baik. Pun, Chris Columbus masih kebingungan untuk mengarahkan konflik dari film Pixels ini. Alih-alih untuk mengisi durasi agar memenuhi syarat sebagai sebuah film lebar, beberapa adegan di film ini pun malah terasa terlalu panjang. Salahnya, hal tersebut tak memberikan sesuatu yang efektif dengan bagaimana cerita di dalam Pixels ini disampaikan.

Pixels akan terasa tertatih untuk menceritakan bagaimana konflik di dalamnya berlangsung. Bukan terbata-bata, tetapi penyampaian cerita yang sangat terasa cepat dengan durasinya yang mencapai 100 menit. Segala bentuk konflik akan terasa loncat tak beraturan dan tak bisa membentuknya menjadi sebuah linimasa cerita yang baik. Pixels pun seperti kehilangan beberapa keping adegan yang tentu membuat penontonnya terasa bingung.

Chris Columbus sepertinya terlalu sibuk untuk mengatur excitement terhadap permainan analog di tahun 80an ini ke dalam filmnya. Sehingga, cerita yang tak beraturan di setiap menitnya ini adalah resiko yang diambil oleh Pixels sebagai pengorbanan dalam memberikan excitement terhadap ikon permainan analog yang menimbulkan efek nostalgia bagi penontonnya. Dan hal itu menjadi sesuatu yang setidaknya menjadi nilai plus dari Pixels yang sudah gagal dari berbagai poin. 


Ingin menjadikannya sebagai sebuah sajian film musim panas keluarga yang menghibur, Pixels masih belum bisa mencapai tujuan tersebut. Dengan pengarahan, naskah, dan momen komedi yang terasa masih di bawah batas yang diinginkan, Pixels tak bisa menjadikan poin excitement dari permainan analog di tahun 80 ini menjadi kuat lewat presentasinya. Dan Pixels tak bisa menjadi sebuah medium nostalgia yang menyenangkan meskipun Chris Columbus masih memberikan excitement terhadap permainan analog ikonik di era emas tersebut.

No comments:

Post a Comment