Showing posts with label Reza Rahadian. Show all posts
Showing posts with label Reza Rahadian. Show all posts

Wednesday, 25 November 2015

STRAWBERRY SURPRISE (2014) REVIEW : Analogi Cinta dan Stroberi


Jatuh cinta, siapa yang tak pernah merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak sekali cerita cinta yang divisualkan untuk film layar lebar. Mulai dari cinta bertepuk sebelah tangan, orang ketiga, dan beberapa konflik cinta yang lainnya yang dekat dengan kehidupan insan manusia sehari-hari. Sineas Indonesia pun juga banyak yang menawarkan film bertema cinta. Beberapa judul film pun mengusung tema cinta dengan konfliknya yang berbeda.

Meski tema cerita cinta cenderung memiliki formula yang klise. Tetapi, sineas Indonesia masih saja menggarap film drama romantis. Begitu pun dengan Hanny R. Saputra, sutradara yang pernah menggarap film Di Bawah Lindungan Ka?bah ini kembali ke jalurnya untuk mengarahkan satu film cinta dewasa. Kembali berkolaborasi bersama Oka Aurora di departemen penulisan naskah, Hanny R. Saputra mengangkat cerita cinta dari buku karangan Desi Puspitasari berjudul ?Strawberry Surprise?.


Aggi (Acha Septriasa) mengibaratkan kisah cintanya seperti sekotak buah stroberi, berharap buah stroberi tersebut manis tetapi asam luar biasa. Kisah cintanya bersama Timur (Reza Rahadian) pun pada awalnya baik-baik saja. Tetapi setelah menjalin hubungan cukup lama dengan kondisi tempat mereka yang berjauhan, mereka pun memutuskan untuk berpisah. Timur masih berharap 5 tahun lagi, Aggi masih sendiri dan menerimanya kembali.

5 Tahun berikutnya, Timur kembali menagih janji dari Aggi. Berharap Aggi masih sendiri dan mengajaknya untuk kembali menjalin hubungan. Beberapa minggu, Timur terus mengejar dan menagih cerita Aggi bersama mantan-mantannya. Aggi masih mempertimbangkan kelanjutan hubungannya Timur. Timur pun merelakan apapun agar bisa kembali bersama Aggi. 


Kejutan yang manis di genre ini.

Film bertema cinta milik sineas indonesia memang cukup banyak dibuat. Tetapi, ada berapa yang bisa menancap di hati penontonnya? dan kapan terakhir kali anda menontonnya? Memang judul-judul film romansa cinta Indonesia memang tak banyak yang bisa menancap di hati penontonnya. Hanny R. Saputra sudah banyak sekali mengarahkan film-film cinta di awal-awal debutnya sebagai sutradara. Heart, Love Is Cinta, dan Love Story adalah trilogi LOVE miliknya

Maka, sudah bukan hal baru lagi bagi Hanny R. Saputra untuk mengarahkan film yang diadaptasi dari buku milik Desi Puspitasari, Strawberry Surprise. Film bertemakan cinta biasanya memiliki formula dan template yang sama dari satu film ke film yang lain. Begitu pun dengan Strawberry Surprise, dari sinopsis pun kita bisa tahu bagaimana film ini akan berjalan. Tetapi, ada yang berbeda dengan Strawberry Surprise. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan yang patut untuk anda simak setiap menitnya.

Jika anda sudah pernah melihat sekilas dari Strawberry Surprise lewat trailernya, anda akan tertipu. Trailer film ini memang terkesan biasa saja, tipikal film-film cinta yang gampang dilupakan. Tetapi ketika menonton film ini secara penuh di bioskop, Strawberry Surprise benar-benar tampil di luar dugaan dari trailernya yang biasa saja. Strawberry Surprise memiliki jalinan cerita yang disampaikan cukup rapi kepada penontonnya. Penonton akan dengan mudah hanyut dengan kisah cinta milik Aggi dan Timur. 


Oka Aurora berhasil mengadaptasi buku milik dari Desi Puspitasari ini dengan baik. Dialog-dialog dinamis tentang cinta yang dianalogikan sebagai sekotak buah stroberi dan dialog-dialog lainnya pun meninggalkan kesan manis untuk penontonya. Dialog-dialog yang bisa dikutip dan beberapa akan menohok penontonnya yang memiliki cerita yang sama dengan Aggi dan Timur. Hubungan jarak jauh yang membutuhkan kepercayaan satu sama lain agar bisa bertahan. Ya, penonton pun akan dengan mudah terwakili lewat karakter Aggi dan Timur.

Strawberry Surprise pun berjalan apa adanya tanpa kesan berlebihan di 90 menit filmnya. Hanny R. Saputra pun berhasil berkolaborasi dengan naskah yang ditulis oleh Oka Aurora. Hasilnya, tidak ada kesan over-dramatic, semuanya berjalan sederhana tetapi berhasil meninggalkan kesan manis yang cukup dalam untuk film ini. Hanny R. Saputra berhasil mengarahkan filmnya agar penonton bisa terkoneksi dengan karakter-karakternya. Karena setiap adegan di Strawberry Surprise begitu terasa emosinya. 


Strawberry Surprise tidak seluruhnya sempurna, masih ada beberapa minor kecil di dalamnya. 20 menit pertama film ini mungkin masih sedikit kacau. Strawberry Surprise mencoba menggunakan alur campuran untuk menceritakan setiap detil latar belakang karakternya. Editing dan penuturannya sedikit kacau sehingga penonton awam akan sedikit kebingungan dengan apa yang terjadi dengan Aggi dan Timur. Tetapi semakin bertambah durasinya, Strawberry Surprise menemukan iramanya dan berjalan dengan sangat baik.

Pun dengan karakter-karakter pendukungnya yang juga masih terkesan one dimensional. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen, Inda pun masih ragu di dalam film ini. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen mungkin akan berpotensi sebagai penguat karakter Timur tetapi kurang digali lebih oleh Hanny R. Saputra. Beberapa konflik antara Timur dan Inda pun seperti ada yang menahan, mungkin agar tidak terlalu membuat film ini menjadi over dramatic dan terlalu klise. Dia lebih memfokuskan Strawberry Surprise kepada kisah cinta Timur dan Aggi. 


Dan beruntunglah, Strawberry Surprise memiliki pemilihan aktor dan aktris yang tepat sehingga menambahkan kesan manis di dalam filmnya. Acha Septriasa dan Reza Rahadian mungkin pernah bermain dengan sangat bagus di film Test Pack. Dan sekali lagi, chemistry kuat itu mereka tampilkan di film ini. Mereka sangat berhasil membawa suasana haru dan romantis dengan sangat kuat bukan secara berlebihan. Sehingga penonton akan dengan mudah ikut tersenyum lantaran jalinan cerita cinta mereka yang penuh perjuangan. 


Maka tak salah, di tengah minimnya film-film cinta milik sineas Indonesia, Strawberry Surprise mampu menjadi salah satu yang terbaik di genre-nya tahun ini bahkan beberapa tahun terakhir. Sebuah kejutan manis hasil kolaborasi Hanny R. Saputra dan Oka Aurora yang mengantarkan kisah asam manis cinta yang memorable. Asam manis cinta milik Aggi dan Timur yang diibaratkan lewat sekotak buah stroberi ini akan mampu membuat penontonnya tersenyum.

PENDEKAR TONGKAT EMAS (2014) REVIEW : Misi Menghidupkan Kembali Seni Bela Diri


Martial Arts kembali dikenalkan kepada penonton lewat beberapa film yang menonjolkan gerakan laga menarik. Perpaduan Martial Arts dengan drama mafia pun coba dikembangkan lewat The Raid yang ditangani oleh Gareth Evans, meskipun sutradara film ini bukan asli Indonesia. Maka, penonton perlu diyakinkan bahwa sineas Indonesia mampu menyajikan film-film berkualitas dengan tangannya sendiri. Maka, Miles Films berkolaborasi dengan Ifa Isfansyah mencoba untuk menghidupkan Martial-Arts kolosal lewat film terbarunya.

Pendekar Tongkat Emas, sebuah tribute kepada film-film laga Indonesia lawas yang terlihat digarap serius di tangan-tangan pelaku balik layarnya. Sumba, Nusa Tenggara Timur dijadikan latar tempat cerita dengan kekayaan alamnya yang indah. Dengan para lakon di dalam film yang sudah memiliki nama di industrinya, membangun pondasi yang bagus bahwa film Pendekar Tongkat Emas bukanlah film yang digarap sembarangan. 


Dimulai di sebuah perguruan silat yang dikepalai oleh Cempaka (Christine Hakim), Perguruan Tongkat Emas yang memiliki empat murid dengan latar belakang yang berbeda. Masing-masing adalah anak dari musuh-musuh cempaka yang diangkat sejak kecil. Mereka berempat adalah Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Cempaka merasa Perguruan Tongkat Emas ini sudah waktunya untuk melakukan regenerasi.

Tongkat Emas turun temurun milik perguruan itu dipindah tangankan kepada salah satu murid dari perguruan. Dara mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan tongkat emas tersebut. Biru dan Gerhana tidak terima dengan keputusan Cempaka memberikan tongkat emas kehormatan tersebut kepada Dara. Gerhana dan Biru mencoba untuk melakukan usaha balas dendam untuk merebut Tongkat Emas tersebut dan menunjukkan bahwa mereka lah yang terkuat. 


Film dengan tema seperti ini mungkin tidak terlalu dekat dengan penontonnya di generasi yang sudah ter-modernisasi. Akan sangat susah untuk di zaman yang sudah berbeda ini untuk mengetahui seperti apa film-film laga silat yang pernah mahsyur di zamannya. Tentu, Pendekar Tongkat Emas memiliki tugas yang berat untuk melakukan dari awal lagi dalam membangun citra untuk genre film serupa di zaman yang sudah mulai berubah ini.

Ketika penonton awam mendengar judul Pendekar Tongkat Emas pun akan muncul kecanggungan di telinga mereka. Penonton merasakan culture-shock karena belum terbiasa dengan munculnya genre-genre baru yang semakin mewarnai industri perfilman di Indonesia. Miles Films pun memiliki strategi yang taktis untuk membangun citra film ini dengan nama-nama yang menarik perhatian di jajaran pelakon filmnya. Tetapi tanpa nama Ifa Isfansyah, Mira Lesmana dan Riri Riza, Pendekar Tongkat Emas hanyalah film yang akan mendapatkan tatapan sinis dari penontonnya.

Apa yang diharapkan dari sebuah film dengan tema Martial Arts di dalamnya? Cerita dengan terobosan baru dengan penyelesaian yang berlapis? Bukan, Pendekar Tongkat Emas memiliki premis cerita sederhana dikemas menarik lewat selipan seni bela diri kedaerahan yang kental akan budaya. Maka, kekuatan dari Pendekar Tongkat Emas adalah bagaimana seni bela diri itu berhasil memberikan atmosfir berbeda kepada penonton di sebuah layar lebar. 


Pendekar Tongkat Emas mungkin masih akan mempunyai keterbatasan dalam menyampaikan narasinya. Terlebih, dalam menyampaikan setiap cerita untuk masing-masing karakter di dalam filmnya. Masih ada keraguan untuk memperdalam lagi siapa itu Cempaka, Elang, Gerhana, Dara, Biru, dan Angin. Pun akan berpengaruh terhadap kelangsungan setiap menitnya karena penonton akan masih sangat susah untuk masuk ke dalamnya.

Meski dengan cerita tanpa kedalaman yang kuat, Pendekar Tongkat Emas masih menyelipkan pesan yang direpresentasikan lewat medium gambar dan karakternya. Hanya Pendekar Tongkat Emas yang fokus kepada detil-detil kecil yang sebenarnya bukanlah bagian dari ceritanya sendiri. Proses penyampaian sebuah pesan dari sang sutradara pun terwakilkan lewat nama-nama para karakternya yang memiliki muatan filosofis. Para nama karakter di sini memiliki pesan menarik kepada penontonnya untuk diinterpretasikan.

Nama Elang menunjukkan karakternya yang kuat dengan mata yang tajam layaknya burung elang. Diperkuat lewat adegan yang menangkap warna mata coklat milik karakter Elang. Nama Dara menunjukkan masih adanya kesucian di dalam karakternya yang digambarkan dengan karakterisasi yang sama dengan tokoh yang diperankan oleh Eva Celia. Tetapi, berbeda dengan Biru. Ketika Biru yang memiliki arti ketenangan dan dikaitkan dengan hal baik, tetapi karakter Biru memiliki sesuatu yang kontradiktif dengan apa yang biasanya direpresentasikan. 


Karakter Biru yang memiliki latar belakang sebagai anak dari musuh dari Cempaka ini memiliki benang merah dengan hal kontradiktif antara nama Biru dengan karakterisasinya. Menunjukkan bahwa adanya keironisan yang terjadi di antara dua hal yang berseberangan itu. Hal tersebut terlihat sangat menarik untuk menjalankan cerita di dalamnya. Serta, adanya kesamaan peran Cempaka dan Dara. Mereka memiliki jalur cerita yang sama yang menunjukkan bahwa pada akhirnya mereka akan kembali kepada dasar atau pondasi yang dibangun di dalam diri mereka

Sebagai film dengan tema Martial Arts, Pendekar Tongkat Emas bisa dikatakan berhasil menjalankan misinya dengan baik, bahkan sangat baik. Segala jenis koreografi silat menggunakan tongkat ini berhasil membuat penonton terperangah di setiap adegannya. Penonton awam memang tak bisa menyadari adanya beberapa tribute di genre yang serupa, tetapi misi Pendekar Tongkat Emas juga untuk meyakinkan penonton agar bisa terima dengan genre seperti ini. Karena bukan tidak mungkin, film-film seperti ini akan ada di setiap tahunnya. 


Tak usah khawatirkan performa pelakonnya yang sudah memiliki nama besar di industri perfilman Indonesia. Nicolas Saputra, Reza Rahadian, dan Tara Basro dengan sangat mudah memerankan karakter fiktif karangan Ifa Isfansyah di dalam Pendekar Tongkat Emas. Begitu pun dengan Eva Celia, meski historinya di dalam sebuah film masih sedikit, tetapi Eva Celia juga sangat berhasil menjadi sosok Dara yang menunjukkan adanya transisi karakter yang semakin lama semakin matang atau dewasa.

Kemasan Pendekar Tongkat Emas pun diperkuat dengan setting tempat alam Sumba yang indah dan menawan. Menggunakan teknik time lapse dan beberapa shoot indah dari Director of Photography yang dapat menangkap potensi alam Sumba yang hijau dan menawan. Begitu pun dengan editing adegan aksinya yang dapat menutupi kurang piawainya para pemain film ini dalam melakukan koreografi seni bela diri silat di dalam filmnya. Dan jangan lupakan production value yang dibuat sanat tidak sembarangan dengan detil-detil yang memperkuat atmosfir Pendekar Tongkat Emas sendiri. 


Pendekar Tongkat Emas mendapat misi mulia untuk menghidupkan kembali genre ini di tengah industri perfilman yang semakin modern. Beruntung, orang-orang yang menangani film ini adalah Miles Films dan Ifa Isfansyah yang notabene adalah kompeten di bidangnya. Pendekar Tongkat Emas pun sangat berhasil menjalankan misinya untuk menghidupkan film ini di era yang sudah berubah. Meski masih ada kekurangan dalam memberikan kedalaman cerita. Pendekar Tongkat Emas adalah film anak negeri yang sangat patut untuk diapresiasi karena bukan dibuat dengan sembarangan. 

Saturday, 7 November 2015

PENDEKAR TONGKAT EMAS (2014) REVIEW : Misi Menghidupkan Kembali Seni Bela Diri


Martial Arts kembali dikenalkan kepada penonton lewat beberapa film yang menonjolkan gerakan laga menarik. Perpaduan Martial Arts dengan drama mafia pun coba dikembangkan lewat The Raid yang ditangani oleh Gareth Evans, meskipun sutradara film ini bukan asli Indonesia. Maka, penonton perlu diyakinkan bahwa sineas Indonesia mampu menyajikan film-film berkualitas dengan tangannya sendiri. Maka, Miles Films berkolaborasi dengan Ifa Isfansyah mencoba untuk menghidupkan Martial-Arts kolosal lewat film terbarunya.

Pendekar Tongkat Emas, sebuah tribute kepada film-film laga Indonesia lawas yang terlihat digarap serius di tangan-tangan pelaku balik layarnya. Sumba, Nusa Tenggara Timur dijadikan latar tempat cerita dengan kekayaan alamnya yang indah. Dengan para lakon di dalam film yang sudah memiliki nama di industrinya, membangun pondasi yang bagus bahwa film Pendekar Tongkat Emas bukanlah film yang digarap sembarangan. 


Dimulai di sebuah perguruan silat yang dikepalai oleh Cempaka (Christine Hakim), Perguruan Tongkat Emas yang memiliki empat murid dengan latar belakang yang berbeda. Masing-masing adalah anak dari musuh-musuh cempaka yang diangkat sejak kecil. Mereka berempat adalah Biru (Reza Rahadian), Gerhana (Tara Basro), Dara (Eva Celia), dan Angin (Aria Kusumah). Cempaka merasa Perguruan Tongkat Emas ini sudah waktunya untuk melakukan regenerasi.

Tongkat Emas turun temurun milik perguruan itu dipindah tangankan kepada salah satu murid dari perguruan. Dara mendapatkan kehormatan untuk mendapatkan tongkat emas tersebut. Biru dan Gerhana tidak terima dengan keputusan Cempaka memberikan tongkat emas kehormatan tersebut kepada Dara. Gerhana dan Biru mencoba untuk melakukan usaha balas dendam untuk merebut Tongkat Emas tersebut dan menunjukkan bahwa mereka lah yang terkuat. 


Film dengan tema seperti ini mungkin tidak terlalu dekat dengan penontonnya di generasi yang sudah ter-modernisasi. Akan sangat susah untuk di zaman yang sudah berbeda ini untuk mengetahui seperti apa film-film laga silat yang pernah mahsyur di zamannya. Tentu, Pendekar Tongkat Emas memiliki tugas yang berat untuk melakukan dari awal lagi dalam membangun citra untuk genre film serupa di zaman yang sudah mulai berubah ini.

Ketika penonton awam mendengar judul Pendekar Tongkat Emas pun akan muncul kecanggungan di telinga mereka. Penonton merasakan culture-shock karena belum terbiasa dengan munculnya genre-genre baru yang semakin mewarnai industri perfilman di Indonesia. Miles Films pun memiliki strategi yang taktis untuk membangun citra film ini dengan nama-nama yang menarik perhatian di jajaran pelakon filmnya. Tetapi tanpa nama Ifa Isfansyah, Mira Lesmana dan Riri Riza, Pendekar Tongkat Emas hanyalah film yang akan mendapatkan tatapan sinis dari penontonnya.

Apa yang diharapkan dari sebuah film dengan tema Martial Arts di dalamnya? Cerita dengan terobosan baru dengan penyelesaian yang berlapis? Bukan, Pendekar Tongkat Emas memiliki premis cerita sederhana dikemas menarik lewat selipan seni bela diri kedaerahan yang kental akan budaya. Maka, kekuatan dari Pendekar Tongkat Emas adalah bagaimana seni bela diri itu berhasil memberikan atmosfir berbeda kepada penonton di sebuah layar lebar. 


Pendekar Tongkat Emas mungkin masih akan mempunyai keterbatasan dalam menyampaikan narasinya. Terlebih, dalam menyampaikan setiap cerita untuk masing-masing karakter di dalam filmnya. Masih ada keraguan untuk memperdalam lagi siapa itu Cempaka, Elang, Gerhana, Dara, Biru, dan Angin. Pun akan berpengaruh terhadap kelangsungan setiap menitnya karena penonton akan masih sangat susah untuk masuk ke dalamnya.

Meski dengan cerita tanpa kedalaman yang kuat, Pendekar Tongkat Emas masih menyelipkan pesan yang direpresentasikan lewat medium gambar dan karakternya. Hanya Pendekar Tongkat Emas yang fokus kepada detil-detil kecil yang sebenarnya bukanlah bagian dari ceritanya sendiri. Proses penyampaian sebuah pesan dari sang sutradara pun terwakilkan lewat nama-nama para karakternya yang memiliki muatan filosofis. Para nama karakter di sini memiliki pesan menarik kepada penontonnya untuk diinterpretasikan.

Nama Elang menunjukkan karakternya yang kuat dengan mata yang tajam layaknya burung elang. Diperkuat lewat adegan yang menangkap warna mata coklat milik karakter Elang. Nama Dara menunjukkan masih adanya kesucian di dalam karakternya yang digambarkan dengan karakterisasi yang sama dengan tokoh yang diperankan oleh Eva Celia. Tetapi, berbeda dengan Biru. Ketika Biru yang memiliki arti ketenangan dan dikaitkan dengan hal baik, tetapi karakter Biru memiliki sesuatu yang kontradiktif dengan apa yang biasanya direpresentasikan. 


Karakter Biru yang memiliki latar belakang sebagai anak dari musuh dari Cempaka ini memiliki benang merah dengan hal kontradiktif antara nama Biru dengan karakterisasinya. Menunjukkan bahwa adanya keironisan yang terjadi di antara dua hal yang berseberangan itu. Hal tersebut terlihat sangat menarik untuk menjalankan cerita di dalamnya. Serta, adanya kesamaan peran Cempaka dan Dara. Mereka memiliki jalur cerita yang sama yang menunjukkan bahwa pada akhirnya mereka akan kembali kepada dasar atau pondasi yang dibangun di dalam diri mereka

Sebagai film dengan tema Martial Arts, Pendekar Tongkat Emas bisa dikatakan berhasil menjalankan misinya dengan baik, bahkan sangat baik. Segala jenis koreografi silat menggunakan tongkat ini berhasil membuat penonton terperangah di setiap adegannya. Penonton awam memang tak bisa menyadari adanya beberapa tribute di genre yang serupa, tetapi misi Pendekar Tongkat Emas juga untuk meyakinkan penonton agar bisa terima dengan genre seperti ini. Karena bukan tidak mungkin, film-film seperti ini akan ada di setiap tahunnya. 


Tak usah khawatirkan performa pelakonnya yang sudah memiliki nama besar di industri perfilman Indonesia. Nicolas Saputra, Reza Rahadian, dan Tara Basro dengan sangat mudah memerankan karakter fiktif karangan Ifa Isfansyah di dalam Pendekar Tongkat Emas. Begitu pun dengan Eva Celia, meski historinya di dalam sebuah film masih sedikit, tetapi Eva Celia juga sangat berhasil menjadi sosok Dara yang menunjukkan adanya transisi karakter yang semakin lama semakin matang atau dewasa.

Kemasan Pendekar Tongkat Emas pun diperkuat dengan setting tempat alam Sumba yang indah dan menawan. Menggunakan teknik time lapse dan beberapa shoot indah dari Director of Photography yang dapat menangkap potensi alam Sumba yang hijau dan menawan. Begitu pun dengan editing adegan aksinya yang dapat menutupi kurang piawainya para pemain film ini dalam melakukan koreografi seni bela diri silat di dalam filmnya. Dan jangan lupakan production value yang dibuat sanat tidak sembarangan dengan detil-detil yang memperkuat atmosfir Pendekar Tongkat Emas sendiri. 


Pendekar Tongkat Emas mendapat misi mulia untuk menghidupkan kembali genre ini di tengah industri perfilman yang semakin modern. Beruntung, orang-orang yang menangani film ini adalah Miles Films dan Ifa Isfansyah yang notabene adalah kompeten di bidangnya. Pendekar Tongkat Emas pun sangat berhasil menjalankan misinya untuk menghidupkan film ini di era yang sudah berubah. Meski masih ada kekurangan dalam memberikan kedalaman cerita. Pendekar Tongkat Emas adalah film anak negeri yang sangat patut untuk diapresiasi karena bukan dibuat dengan sembarangan.