Showing posts with label Chelsea Islan. Show all posts
Showing posts with label Chelsea Islan. Show all posts

Wednesday, 25 November 2015

MERRY RIANA : MIMPI SEJUTA DOLAR (2014) REVIEW : Inaccuracy in Inspirational Story


Mengangkat kisah inspiratif seorang tokoh bisa menjadi ke dalam sebuah film layar lebar menjadi tren di kalangan industri perfilman Indonesia. Sebuah biopik dari berbagai kalangan mulai dari seorang yang terpandang dan penting bagi negara hingga seorang yang sukses dalam karirnya mulai dari nol. Kisah inspiratif itu pun selalu dengan mudah menarik minat penontonnya untuk berbondong-bondong pergi ke bioskop untuk menontonnya.

MD Pictures kembali hadir mewarnai genre ini dengan biopik baru dari sosok terkenal, Merry Riana. Nama ini akan orang-orang jumpai lewat bukunya berjudul Manusia Sejuta Dolar di toko buku terdekat. Ya, sosok ini sudah terkenal lewat buku-buku motivasinya yang ditulis oleh Alberthiene Endah yang berdasarkan dari kisah nyata dari Merry Riana. Digawangi oleh Hestu Saputra, Merry Riana pun diangkat menjadi sebuah cerita gambar bergerak untuk menginspirasi penontonnya. 


Dikarenakan sebuah kerusuhan yang terjadi saat reformasi, Merry Riana (Chelsea Islan) dan keluarganya harus meninggalkan negara Indonesia. Naas, dalam perjalanannya keluarga Merry Riana diserang oleh para perusuh yang mengambil uang mereka. Merry Riana pun diterbangkan ke Singapura untuk bertemu dengan saudaranya, sendirian. Ketika sampai di sana, saudaranya pun hilang karena bangkrut.Merry Riana yang sendirian di kota Singapura pun menginap di asrama temannya, Irene (Kymberly Rider).

Tetapi tak berlangsung lama, karena peraturan di dalam asrama Irene melarang adanya orang lain di dalam kamarnya kecuali orang tersebut akan mengikuti tes masuk kuliah. Irene pun memaksa Merry untuk ikut tes masuk kuliah. Setelah berhasil masuk, problem berikutnya yaitu Merry harus membayar 40.000 dolar untuk membiayai kuliahnya. Alva (Dion Wiyoko) menjadi penjamin kehidupan Merry Riana di Singapura karena Merry meminjam uang dari universitas dengan atas namanya. 


Sudah cukup banyak film-film di Indonesia yang menjadikan kisah sukses kehidupan seseorang sebagai nilai lebih di dalam sebuah film. Sebut saja Habibie & Ainun, 3 Nafas Likas, Soekarno, dan Sepatu Dahlan adalah beberapa judul yang memiliki genre serupa dengan film terbaru milik MD Pictures ini. Tak masalah jika film dengan tema serupa itu digarap serius untuk menginspirasi penontonnya dengan adegan-adegan yang menyentuh.

Sayang, beberapa judul pun hanya mengumbar embel-embel ?terinspirasi kisah nyata? tanpa memberikan keseimbangan dengan hasil akhirnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar menjadi salah satu film dengan tema biopik yang memiliki kesalahan dalam menginspirasi penontonnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar pun hanya mencuil sedikit bagian dari kisah Merry Riana yang katanya menginspirasi banyak orang di Indonesia.

Tugas dari sebuah film biopik adalah untuk mengenalkan sosok yang memiliki pamor lebih dan merangkumnya ke dalam 120 menit atau lebih. Penonton yang hanya mengenal sosok Merry Riana lewat mulut ke mulut tentu menginginkan jawaban dari sebuah pertanyaan ke benak mereka, ?Kenapa orang ini bisa sangat terkenal dan inspiratif??. Pertanyaan besar ini pun sayangnya tidak berusaha dijawab oleh Hestu Saputra lewat film terbarunya. 


Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar tidak menunjukkan seberapa besar perjuangan sosok Merry Riana untuk bertahan hidup di negara tetangga, Singapura. MD Pictures terlihat ingin mengekor kesuksesan Habibie & Ainun yang memiliki cerita cinta yang kental. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar pun putar balik dari sebuah kisah inspiratif menjadi sebuah kisah romansa pelik antara Merry Riana, Irene, dan Alva dengan setting negara Singapura. Habibie & Ainun memang memiliki sumber tentang kisah cinta mereka berdua. Saat hal itu diterapkan ke film Merry Riana, hal itu terlihat salah.

Kejomplangan porsi antara cinta dan kisah perjalanan Merry Riana pun jadi berbanding terbalik. Kisah inspiratif itu pun akhirnya hanya menjadi landasan cerita yang semakin bertambahnya menit, semakin blur dan tidak bisa berjalan seimbang dengan kisah cintanya. Jelas, Hestu Saputra melenceng jauh dari konsep dasar untuk menjual Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar sebagai film kisah inspirasional bagi penontonnya. Pun, diperlemah lewat tidak adanya akurasi setting waktu yang digunakan sebagai penggerak cerita.

Hestu mengaku bahwa Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar adalah adaptasi bebas dari kisah inspirasional sosok Merry Riana. Lubang besarnya adalah penempatan kerusuhan tahun 1998 di awal film yang akhirnya membuat film ini terkesan masih minimalisnya kinerja dari Hestu Saputra selaku sutradara. Borok besar itu pun akan semakin menambah beban film ini sehingga tak ada kesan untuk berusaha membuat production value dengan niat. Hanya menjual lansekap indah Singapura yang sangat modern dengan latar setting tahun 1998. 


Well, dengan banyaknya borok itu, Merry Riana pun masih memiliki kekuatan di dalam kisah cinta antara Merry dan Alva. Beruntunglah, kisah cinta yang masih enak diikuti itu pun tak lepas dari usaha dan ikatan kimia kuat antara Chelsea Islan dan Dion Wiyoko yang mampu berlakon apik. Mereka berhasil meyakinkan penonton sebagai sepasang kekasih yang saling melengkapi. Meski dengan editing yang super berlebihan, efek slow motion yang dibuat-buat, musik di setiap transisi adegan yang memekakkan telinga. Dan benar saja, Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar diselamatkan oleh mereka berdua.

Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar memang akan gagal menjawab pertanyaan besar tentang siapa itu Merry Riana, tetapi akan menyentuh penontonnya lewat kisah cinta melodramatik yang kuat lewat chemistry pelakonnya. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar terkesan tidak adanya usaha keras Hestu Saputra sebagai komando tertinggi di dalam pembuatan filmnya. Dengan kurangnya keakuratan di latar waktunya, minimnya production value yang dibuat secara niat, Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar masih kurang berhasil menginspirasi penontonnya.
 

DI BALIK 98 (2015) REVIEW : Keterbatasan Dunia Fiktif dalam Setting Nyata


Para pelakon di bidang akting merambah keahlian mereka di dunia balik layar perfilman memang sedang menjadi tren. Mereka mencoba untuk mengarahkan film mereka sendiri, meskipun beberapa masih ada yang mencoba keahlian mereka lewat film pendek. Reza Rahadian, Acha Septriasa, Ladya Cheryl, dan Lukman Sardi awalnya juga memulai debut mereka lewat film pendek. Lukman Sardi memberanikan diri untuk mengasah lagi kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film panjang yang di rilis di bioskop.
 
Lewat production house, MNC Pictures, yang diproduseri oleh Affandi Abdul Rachman, Lukman Sardi mengarahkan film dengan tema tragedi 98. Isu yang memiliki interpretasi luas dan menjadi salah satu tragedi yang menjadi sejarah transisi negara Indonesia. Lukman Sardi menggambarkan kejadian bersejarah itu lewat filmnya berjudul Di Balik 98. Film ini memiliki nama-nama terkenal seperti Chelsea Islan, Boy William, dan masih banyak nama-nama lainnya. 


Di Balik 98 adalah universe fiktif milik Lukman Sardi yang menggunakan latar belakang kejadian 98. Di mana memiliki banyak karakter untuk menjalankan beberapa cerita tematis untuk setiap karakternya. Di mana Diana (Chelsea Islan), seorang aktivis di Universitas Trisakti yang sangat melawan keotoritasan Soeharto pada saat itu. Diana adalah adik dari seorang Tentara bernama Bagus (Donny Alamsyah) dan pegawai dapur Istana bernama Salma (Ririn Ekawati). 

Di dalam rumah, pendapat mereka pun saling berlawanan. Diana pun mempunyai teman laki-laki bernama Daniel (Boy William). Daniel adalah lelaki keturunan tiongkok yang hidup bersama ayah dan adiknya. Etnis tiongkok yang sangat terancam di tragedi 98 ini tentu memengaruhi kehidupan Daniel dan keluarganya. Juga ada Ayah dan Anak gelandangan yang hidup kesusahan saat tragedi itu berlangsung. 


Menggabungkan tema cinta, keluarga, dan politik dengan setting tahun 1998 bukanlah perkara mudah. Tema tragedi 98 ini pun adalah sebuah tema yang sangat besar, perlu ketrampilan yang sangat baik untuk menyampaikan pesannya dengan baik kepada penontonnya. Tentu, Lukman Sardi mengemban tugas berat apalagi ini adalah debut pertamanya di layar lebar. Pintarnya, Lukman Sardi menggunakan sebuah cerita fiktif agar tak salah langkah di dalam pengarahannya.

Lukman Sardi ingin menyampaikan sebuah film dengan berbagai sudut pandang ras atau etnis dan kelas sosial saat tragedi 98 ini berlangsung. Sebuah pemikiran yang hebat dan besar meski jika salah sedikit, ini akan menjadi bumerang hebat bagi filmnya. Di Balik 98 adalah film dengan pemikiran hebat dan besar yang dijadikan dasar dalam menjalankan ceritanya. Tetapi, treatment yang masih belum sempurna ini membuat pemikiran hebat ini terhambat.

Untuk deliver sebuah cerita, apalagi dengan karakter yang sangat banyak butuh detil arahan yang baik. Sebagai debutan, Lukman Sardi masih perlu mengasah lagi kemampuannya dalam menyampaikan cerita dengan baik. Di Balik 98 memang memiliki cerita yang sederhana, tapi dengan catatan untuk setiap karakternya. Terbuai oleh kesederhanaan cerita, film ini tak sadar bahwa akan memiliki kompleksitas apalagi ada beberapa karakter yang saling berhubungan. 


Di sinilah salah satu sisi negatif dari Di Balik 98, bagaimana semua cerita sederhana di film ini pun tidak bisa membuat penontonnya untuk bertahan. Cara bertuturnya pun tersendat-sendat di dalam durasinya yang hanya 95 menit. Akhirnya, Di Balik 98 pun memiliki tempo cerita yang melambat saat durasinya semakin bertambah. Di sini terlihat bagaimana Lukman Sardi sangat berhati-hati saat mengarahkan filmnya. 

Tetapi, kehati-hatian sang sutradara harus mengorbankan suasana hati penonton yang tak pernah diajak naik. Penonton yang tak pernah menjamani era 98 tersebut pun tak pernah tahu bagaimana tegang, riuh, dan takutnya zaman itu. Meskipun hal-hal tersebut ditampilkan dengan nyata lewat adegan-adegannya, tetapi adegan tersebut pun kosong, tak memiliki nyawa atau suasana sebesar penggambaran adegan mereka. 


Film ini mempunyai banyak sekali karakter saat menggerakkan cerita. Tetapi, ruang untuk bergerak itu sangat sempit. Banyak sekali karakter yang akhirnya tidak memiliki tujuan yang jelas atau hanya tampil sebagai formalitas. Semua karakter pun tidak dapat bergerak bebas, banyak sekali cerita yang terasa belum selesai atau malah belum tersampaikan. Maka, tujuan Lukman Sardi untuk akhirnya menggabungkan beberapa tema cinta, politik, dan keluarga pun akhirnya gagal di dalam film perdananya ini.

Beruntung, Lukman Sardi masih sadar dalam memberikan detil-detil kecil dalam production value-nya di film ini. Beberapa cameo dari tokoh-tokoh besar, tempat-tempat yang digarap sama dengan zamannya, sehingga Di Balik 98 masih dapat digolongkan sebagai sebuah film yang masih digarap serius oleh sineasnya. Meskipun minim tragedi bersejarah karena Lukman Sardi memang memfokuskan ke dunia fiktif buatan dirinya sendiri. 


Sebagai debutan, Lukman Sardi sudah memiliki bakat untuk mengarahkan sebuah film. Karena beberapa hal teknis membuat Di Balik 98 masih dikategorikan sebuah film yang digarap secara serius. Namun, Lukman Sardi perlu untuk mengasah kemampuannya lagi dalam bidang penyutradaraannya. Lukman masih terlihat kesusahan untuk menyampaikan pesannya kepada penonton lewat karakter-karakter fiktifnya dengan setting tahun 98 yang notabene masih susah untuk diolah. 

Saturday, 7 November 2015

MERRY RIANA : MIMPI SEJUTA DOLAR (2014) REVIEW : Inaccuracy in Inspirational Story


Mengangkat kisah inspiratif seorang tokoh bisa menjadi ke dalam sebuah film layar lebar menjadi tren di kalangan industri perfilman Indonesia. Sebuah biopik dari berbagai kalangan mulai dari seorang yang terpandang dan penting bagi negara hingga seorang yang sukses dalam karirnya mulai dari nol. Kisah inspiratif itu pun selalu dengan mudah menarik minat penontonnya untuk berbondong-bondong pergi ke bioskop untuk menontonnya.

MD Pictures kembali hadir mewarnai genre ini dengan biopik baru dari sosok terkenal, Merry Riana. Nama ini akan orang-orang jumpai lewat bukunya berjudul Manusia Sejuta Dolar di toko buku terdekat. Ya, sosok ini sudah terkenal lewat buku-buku motivasinya yang ditulis oleh Alberthiene Endah yang berdasarkan dari kisah nyata dari Merry Riana. Digawangi oleh Hestu Saputra, Merry Riana pun diangkat menjadi sebuah cerita gambar bergerak untuk menginspirasi penontonnya. 


Dikarenakan sebuah kerusuhan yang terjadi saat reformasi, Merry Riana (Chelsea Islan) dan keluarganya harus meninggalkan negara Indonesia. Naas, dalam perjalanannya keluarga Merry Riana diserang oleh para perusuh yang mengambil uang mereka. Merry Riana pun diterbangkan ke Singapura untuk bertemu dengan saudaranya, sendirian. Ketika sampai di sana, saudaranya pun hilang karena bangkrut.Merry Riana yang sendirian di kota Singapura pun menginap di asrama temannya, Irene (Kymberly Rider).

Tetapi tak berlangsung lama, karena peraturan di dalam asrama Irene melarang adanya orang lain di dalam kamarnya kecuali orang tersebut akan mengikuti tes masuk kuliah. Irene pun memaksa Merry untuk ikut tes masuk kuliah. Setelah berhasil masuk, problem berikutnya yaitu Merry harus membayar 40.000 dolar untuk membiayai kuliahnya. Alva (Dion Wiyoko) menjadi penjamin kehidupan Merry Riana di Singapura karena Merry meminjam uang dari universitas dengan atas namanya. 


Sudah cukup banyak film-film di Indonesia yang menjadikan kisah sukses kehidupan seseorang sebagai nilai lebih di dalam sebuah film. Sebut saja Habibie & Ainun, 3 Nafas Likas, Soekarno, dan Sepatu Dahlan adalah beberapa judul yang memiliki genre serupa dengan film terbaru milik MD Pictures ini. Tak masalah jika film dengan tema serupa itu digarap serius untuk menginspirasi penontonnya dengan adegan-adegan yang menyentuh.

Sayang, beberapa judul pun hanya mengumbar embel-embel ?terinspirasi kisah nyata? tanpa memberikan keseimbangan dengan hasil akhirnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar menjadi salah satu film dengan tema biopik yang memiliki kesalahan dalam menginspirasi penontonnya. Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar pun hanya mencuil sedikit bagian dari kisah Merry Riana yang katanya menginspirasi banyak orang di Indonesia.

Tugas dari sebuah film biopik adalah untuk mengenalkan sosok yang memiliki pamor lebih dan merangkumnya ke dalam 120 menit atau lebih. Penonton yang hanya mengenal sosok Merry Riana lewat mulut ke mulut tentu menginginkan jawaban dari sebuah pertanyaan ke benak mereka, ?Kenapa orang ini bisa sangat terkenal dan inspiratif??. Pertanyaan besar ini pun sayangnya tidak berusaha dijawab oleh Hestu Saputra lewat film terbarunya. 


Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar tidak menunjukkan seberapa besar perjuangan sosok Merry Riana untuk bertahan hidup di negara tetangga, Singapura. MD Pictures terlihat ingin mengekor kesuksesan Habibie & Ainun yang memiliki cerita cinta yang kental. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar pun putar balik dari sebuah kisah inspiratif menjadi sebuah kisah romansa pelik antara Merry Riana, Irene, dan Alva dengan setting negara Singapura. Habibie & Ainun memang memiliki sumber tentang kisah cinta mereka berdua. Saat hal itu diterapkan ke film Merry Riana, hal itu terlihat salah.

Kejomplangan porsi antara cinta dan kisah perjalanan Merry Riana pun jadi berbanding terbalik. Kisah inspiratif itu pun akhirnya hanya menjadi landasan cerita yang semakin bertambahnya menit, semakin blur dan tidak bisa berjalan seimbang dengan kisah cintanya. Jelas, Hestu Saputra melenceng jauh dari konsep dasar untuk menjual Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar sebagai film kisah inspirasional bagi penontonnya. Pun, diperlemah lewat tidak adanya akurasi setting waktu yang digunakan sebagai penggerak cerita.

Hestu mengaku bahwa Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar adalah adaptasi bebas dari kisah inspirasional sosok Merry Riana. Lubang besarnya adalah penempatan kerusuhan tahun 1998 di awal film yang akhirnya membuat film ini terkesan masih minimalisnya kinerja dari Hestu Saputra selaku sutradara. Borok besar itu pun akan semakin menambah beban film ini sehingga tak ada kesan untuk berusaha membuat production value dengan niat. Hanya menjual lansekap indah Singapura yang sangat modern dengan latar setting tahun 1998. 


Well, dengan banyaknya borok itu, Merry Riana pun masih memiliki kekuatan di dalam kisah cinta antara Merry dan Alva. Beruntunglah, kisah cinta yang masih enak diikuti itu pun tak lepas dari usaha dan ikatan kimia kuat antara Chelsea Islan dan Dion Wiyoko yang mampu berlakon apik. Mereka berhasil meyakinkan penonton sebagai sepasang kekasih yang saling melengkapi. Meski dengan editing yang super berlebihan, efek slow motion yang dibuat-buat, musik di setiap transisi adegan yang memekakkan telinga. Dan benar saja, Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar diselamatkan oleh mereka berdua.

Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar memang akan gagal menjawab pertanyaan besar tentang siapa itu Merry Riana, tetapi akan menyentuh penontonnya lewat kisah cinta melodramatik yang kuat lewat chemistry pelakonnya. Merry Riana : Mimpi Sejuta Dolar terkesan tidak adanya usaha keras Hestu Saputra sebagai komando tertinggi di dalam pembuatan filmnya. Dengan kurangnya keakuratan di latar waktunya, minimnya production value yang dibuat secara niat, Merry Riana : Manusia Sejuta Dolar masih kurang berhasil menginspirasi penontonnya.
 

DI BALIK 98 (2015) REVIEW : Keterbatasan Dunia Fiktif dalam Setting Nyata


Para pelakon di bidang akting merambah keahlian mereka di dunia balik layar perfilman memang sedang menjadi tren. Mereka mencoba untuk mengarahkan film mereka sendiri, meskipun beberapa masih ada yang mencoba keahlian mereka lewat film pendek. Reza Rahadian, Acha Septriasa, Ladya Cheryl, dan Lukman Sardi awalnya juga memulai debut mereka lewat film pendek. Lukman Sardi memberanikan diri untuk mengasah lagi kemampuannya dalam mengarahkan sebuah film panjang yang di rilis di bioskop.
 
Lewat production house, MNC Pictures, yang diproduseri oleh Affandi Abdul Rachman, Lukman Sardi mengarahkan film dengan tema tragedi 98. Isu yang memiliki interpretasi luas dan menjadi salah satu tragedi yang menjadi sejarah transisi negara Indonesia. Lukman Sardi menggambarkan kejadian bersejarah itu lewat filmnya berjudul Di Balik 98. Film ini memiliki nama-nama terkenal seperti Chelsea Islan, Boy William, dan masih banyak nama-nama lainnya. 


Di Balik 98 adalah universe fiktif milik Lukman Sardi yang menggunakan latar belakang kejadian 98. Di mana memiliki banyak karakter untuk menjalankan beberapa cerita tematis untuk setiap karakternya. Di mana Diana (Chelsea Islan), seorang aktivis di Universitas Trisakti yang sangat melawan keotoritasan Soeharto pada saat itu. Diana adalah adik dari seorang Tentara bernama Bagus (Donny Alamsyah) dan pegawai dapur Istana bernama Salma (Ririn Ekawati). 

Di dalam rumah, pendapat mereka pun saling berlawanan. Diana pun mempunyai teman laki-laki bernama Daniel (Boy William). Daniel adalah lelaki keturunan tiongkok yang hidup bersama ayah dan adiknya. Etnis tiongkok yang sangat terancam di tragedi 98 ini tentu memengaruhi kehidupan Daniel dan keluarganya. Juga ada Ayah dan Anak gelandangan yang hidup kesusahan saat tragedi itu berlangsung. 


Menggabungkan tema cinta, keluarga, dan politik dengan setting tahun 1998 bukanlah perkara mudah. Tema tragedi 98 ini pun adalah sebuah tema yang sangat besar, perlu ketrampilan yang sangat baik untuk menyampaikan pesannya dengan baik kepada penontonnya. Tentu, Lukman Sardi mengemban tugas berat apalagi ini adalah debut pertamanya di layar lebar. Pintarnya, Lukman Sardi menggunakan sebuah cerita fiktif agar tak salah langkah di dalam pengarahannya.

Lukman Sardi ingin menyampaikan sebuah film dengan berbagai sudut pandang ras atau etnis dan kelas sosial saat tragedi 98 ini berlangsung. Sebuah pemikiran yang hebat dan besar meski jika salah sedikit, ini akan menjadi bumerang hebat bagi filmnya. Di Balik 98 adalah film dengan pemikiran hebat dan besar yang dijadikan dasar dalam menjalankan ceritanya. Tetapi, treatment yang masih belum sempurna ini membuat pemikiran hebat ini terhambat.

Untuk deliver sebuah cerita, apalagi dengan karakter yang sangat banyak butuh detil arahan yang baik. Sebagai debutan, Lukman Sardi masih perlu mengasah lagi kemampuannya dalam menyampaikan cerita dengan baik. Di Balik 98 memang memiliki cerita yang sederhana, tapi dengan catatan untuk setiap karakternya. Terbuai oleh kesederhanaan cerita, film ini tak sadar bahwa akan memiliki kompleksitas apalagi ada beberapa karakter yang saling berhubungan. 


Di sinilah salah satu sisi negatif dari Di Balik 98, bagaimana semua cerita sederhana di film ini pun tidak bisa membuat penontonnya untuk bertahan. Cara bertuturnya pun tersendat-sendat di dalam durasinya yang hanya 95 menit. Akhirnya, Di Balik 98 pun memiliki tempo cerita yang melambat saat durasinya semakin bertambah. Di sini terlihat bagaimana Lukman Sardi sangat berhati-hati saat mengarahkan filmnya. 

Tetapi, kehati-hatian sang sutradara harus mengorbankan suasana hati penonton yang tak pernah diajak naik. Penonton yang tak pernah menjamani era 98 tersebut pun tak pernah tahu bagaimana tegang, riuh, dan takutnya zaman itu. Meskipun hal-hal tersebut ditampilkan dengan nyata lewat adegan-adegannya, tetapi adegan tersebut pun kosong, tak memiliki nyawa atau suasana sebesar penggambaran adegan mereka. 


Film ini mempunyai banyak sekali karakter saat menggerakkan cerita. Tetapi, ruang untuk bergerak itu sangat sempit. Banyak sekali karakter yang akhirnya tidak memiliki tujuan yang jelas atau hanya tampil sebagai formalitas. Semua karakter pun tidak dapat bergerak bebas, banyak sekali cerita yang terasa belum selesai atau malah belum tersampaikan. Maka, tujuan Lukman Sardi untuk akhirnya menggabungkan beberapa tema cinta, politik, dan keluarga pun akhirnya gagal di dalam film perdananya ini.

Beruntung, Lukman Sardi masih sadar dalam memberikan detil-detil kecil dalam production value-nya di film ini. Beberapa cameo dari tokoh-tokoh besar, tempat-tempat yang digarap sama dengan zamannya, sehingga Di Balik 98 masih dapat digolongkan sebagai sebuah film yang masih digarap serius oleh sineasnya. Meskipun minim tragedi bersejarah karena Lukman Sardi memang memfokuskan ke dunia fiktif buatan dirinya sendiri. 


Sebagai debutan, Lukman Sardi sudah memiliki bakat untuk mengarahkan sebuah film. Karena beberapa hal teknis membuat Di Balik 98 masih dikategorikan sebuah film yang digarap secara serius. Namun, Lukman Sardi perlu untuk mengasah kemampuannya lagi dalam bidang penyutradaraannya. Lukman masih terlihat kesusahan untuk menyampaikan pesannya kepada penonton lewat karakter-karakter fiktifnya dengan setting tahun 98 yang notabene masih susah untuk diolah.