Showing posts with label Kate Mara. Show all posts
Showing posts with label Kate Mara. Show all posts

Wednesday, 25 November 2015

FANTASTIC FOUR (2015) REVIEW : Superhero Movie?s Catastrophe


Sedang mengalami tren, film-film superhero menguatkan diri mereka untuk membangun dunia sinematik yang semakin luas. Marvel, di bawah naungan Disney semakin memperluas dunia mereka dan sudah berjalan ke fase ketiga. DC, di bawah Warner Bros pun ikut melebarkan dunia mereka diawali oleh Man of Steel dan Batman V Superman di tahun 2016. Marvel, di bawah naungan 20th Century Fox pun ingin melebarkan dunia sinematiknya.
 
Hak cipta Marvel di berbagai rumah produksi memang bisa dibilang rumit. Ada 3 rumah produksi besar yaitu Disney, 20th Century Fox, dan Sony yang memiliki hak cipta atas komik marvel. 20th Century Fox memegang hak cipta untuk X-Men dan Fantastic Four untuk filmnya. Dunia X-Men yang sudah semakin besar jelas menguntungkan pihak 20th Century Fox. Dan, Fantastic Four yang sebelumnya sudah pernah ada pun dibuat ulang dengan harapan bisa memperluas dunia sinematik para mutan. Dan Josh Trank memiliki pengaruh besar untuk hasil akhir filmnya.

Fantastic Four garapan Josh Trank ini ingin menawarkan sesuatu yang berbeda dengan film sebelumnya. Dengan harapan menjadi sesuatu yang  berbeda, ternyata Josh Trank terlalu ambisius sehingga adanya kekacauan besar dalam penggarapan filmnya. Tak hanya dari segi cast, terutama pemilihan Michael B. Jordan sebagai Human Torch, tetapi juga adanya cekcok yang terjadi antara Josh Trank dan rumah produksinya. Dan hal tersebut ternyata benar-benar memengaruhi bagaimana performa Fantastic Four secara keseluruhan. 


Bagaimana Richard Reed (Miles Teller) ingin mewujudkan impiannya membuat teleporter di masa depan memang memiliki banyak rintangan. Banyak orang yang mencemooh apa yang dia pikirkan karena dianggapnya tak masuk akal. Hanya Ben Grimm (Jamie Bell) satu-satunya orang yang secara tak sengaja menjadi orang kepercayaan Richard untuk mengembangkan mesin teleporter miliknya. Hingga suatu ketika, di pesta sains sekolahnya, Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) dan Sue Storm (Kate Mara) mendatanginya dan memberikan Richard beasiswa penuh atas karyanya.

Richard pun mengembangkan alat teleporter miliknya atas kemauan Dr. Franklin. Juga, dia mendapatkan rekomendasi untuk dibantu oleh Victor (Toby Kebbell) yang pernah dipercayai oleh Dr. Franklin dalam proyek yang sama. Pun, dibantu oleh Sue dan Johnny (Michael B. Jordan). Setelah berhasil, mereka tak dibolehi untuk pergi menggunakan teleporter untuk mendatangi planet yang dia temukan. Secara diam-diam, mereka bertiga ?Richard, Johnny dan Victor ?bersama Ben pergi ke sana dan mendapatkan bencana yang ternyata membuat mereka mempunyai kemampuan lain. 


Sebenarnya tak ada yang salah dengan apa yang diangkat oleh Josh Trank sebagai jalan cerita dari Fantastic Four. Pun, tak ada yang salah dengan membuat ulang film Fantastic Four yang telah lama usang dengan para pemain yang sudah memiliki jalannya masing-masing. Toh, dua seri Fantastic Four yang diarahkan oleh Tim Hughes pun tak mendapatkan respon yang memuaskan dari para kritikus film. Meskipun, beberapa penonton masih menikmati apa yang ditawarkan oleh Tim Hughes dalam filmnya.

Pun, dengan penuh percaya diri, 20th Century Fox menceritakan ulang Fantastic Four dengan beberapa tambahan yang membuat film ini terlihat lebih menarik. Dengan menunjuk Josh Trank sebagai sutradara, sebenarnya bukan sesuatu yang salah. Chronicle, film debut miliknya, mendapatkan respon yang sangat positif dari para kritikus. Sehingga tak salah bila 20th Century Fox mempercayakan proyek ini kepada Josh Trank.

Tak disangka, pertengkaran dan kekacauan Josh Trank di lokasi syuting Fantastic Four menyebabkan kehancuran luar biasa terhadap presentasi filmnya. Reboot Fantastic Four miliknya menjadi sebuah catastrophe dalam catatan film-film manusia berkekuatan super. Awal mula bagaimana Fantastic Four menjadi sebuah film manusia super dengan dasar scientific untuk meyakinkan cerita dasar memang terlihat sangat menarik. Hanya saja, apa yang telah dijelaskan oleh film ini yang kelewat rumit dan asyik sendiri ini pun terasa sia-sia. Karena paruh kedua film ini benar-benar hancur tak bersisa. 


Ada yang tak terkontrol ketika Fantastic Four berusaha untuk mengenalkan setiap karakter di dalam filmnya. Fantastic Four secara perlahan membangun tensi untuk filmnya. Terlalu banyak ide yang dituangkan ke dalam naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Jeremy Slater, Josh Trank, dan Simon Kinberg. Dengan cerita yang berjalan perlahan, harusnya Josh Trank tahu untuk menyampaikan ceritanya secara terstruktur. Sayangnya, karena terlalu banyak atas apa yang akan diceritakan, Fantastic Four jatuh ke fase yang benar-benar membuat filmnya berada di titik yang sangat jenuh.

Meski adanya dasar scientific untuk lebih meyakinkan penontonnya, pun dengan durasi paruh awal yang terlalu lama tak lantas membuat karakter di dalamnya kuat. Karakter-karakter manusia super di dalamnya sangat terasa satu dimensi yang seharusnya menjadi kekuatan filmnya sendiri. Paruh kedua pun tak ada i?tikad baik untuk memperbaiki apa yang menjadi noda di dalam filmnya. Bencana besar datang untuk menghancurkan segala upaya Josh Trank mengarahkan film Fantastic Four menjadi sajian yang berada di atas film sebelumnya. 


Seperti sebuah home video berformat VCD yang dibagi menjadi 3 bagian, Fantastic Four seperti menonton dari disc nomor pertama dan langsung menikmati ending-nya di kepingan ketiga. Fantastic Four benar-benar berantakan dan apa yang sudah disajikan di paruh pertama benar-benar telah diabaikan oleh Josh Trank. Segala plot yang diceritakan panjang lebar pun tak terasa sia-sia. Masalah utama di Fantastic Four pun benar-benar kabur.

Segalanya dipaksa hadir di sisa 30 menit filmnya. Masalah baru hadir dan pergi dengan sekejap dan hal itu semakin membuat parah keseluruhan presentasi dari Fantastic Four. Pun ekspektasi penonton yang mengharapkan pameran visual effect untuk film ini pun siap-siap kecewa. Tak ada sama sekali adegan-adegan battle yang dapat membuat penonton yang haus akan hal itu terpenuhi rasa dahaganya. Dan ya, hal itu mengurangi lagi poin untuk Fantastic Four yang sudah sangat rendah. 


Perlunya sebuah reboot untuk memperbaiki film pendahulunya yang mendapat respon tak terlalu baik dari kritikus film pun tak dipenuhi oleh Josh Trank. Proyek reboot empat kawanan berkekuatan super ini malah jatuh menjadi sebuah bencana besar yang tak ada di sejarah film-film manusia kekuatan super. Paruh awal yang berjalan sangat lambat dan tak bisa mengembangkan apapun, paruh kedua yang sangat jatuh dan berantakan, benar-benar membuat Fantastic Four jatuh menuju lubang hitam yang mereka ciptakan sendiri. Believe the bad hype, Fantastic Four is that bad, very bad
 

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

Saturday, 7 November 2015

FANTASTIC FOUR (2015) REVIEW : Superhero Movie?s Catastrophe


Sedang mengalami tren, film-film superhero menguatkan diri mereka untuk membangun dunia sinematik yang semakin luas. Marvel, di bawah naungan Disney semakin memperluas dunia mereka dan sudah berjalan ke fase ketiga. DC, di bawah Warner Bros pun ikut melebarkan dunia mereka diawali oleh Man of Steel dan Batman V Superman di tahun 2016. Marvel, di bawah naungan 20th Century Fox pun ingin melebarkan dunia sinematiknya.
 
Hak cipta Marvel di berbagai rumah produksi memang bisa dibilang rumit. Ada 3 rumah produksi besar yaitu Disney, 20th Century Fox, dan Sony yang memiliki hak cipta atas komik marvel. 20th Century Fox memegang hak cipta untuk X-Men dan Fantastic Four untuk filmnya. Dunia X-Men yang sudah semakin besar jelas menguntungkan pihak 20th Century Fox. Dan, Fantastic Four yang sebelumnya sudah pernah ada pun dibuat ulang dengan harapan bisa memperluas dunia sinematik para mutan. Dan Josh Trank memiliki pengaruh besar untuk hasil akhir filmnya.

Fantastic Four garapan Josh Trank ini ingin menawarkan sesuatu yang berbeda dengan film sebelumnya. Dengan harapan menjadi sesuatu yang  berbeda, ternyata Josh Trank terlalu ambisius sehingga adanya kekacauan besar dalam penggarapan filmnya. Tak hanya dari segi cast, terutama pemilihan Michael B. Jordan sebagai Human Torch, tetapi juga adanya cekcok yang terjadi antara Josh Trank dan rumah produksinya. Dan hal tersebut ternyata benar-benar memengaruhi bagaimana performa Fantastic Four secara keseluruhan. 


Bagaimana Richard Reed (Miles Teller) ingin mewujudkan impiannya membuat teleporter di masa depan memang memiliki banyak rintangan. Banyak orang yang mencemooh apa yang dia pikirkan karena dianggapnya tak masuk akal. Hanya Ben Grimm (Jamie Bell) satu-satunya orang yang secara tak sengaja menjadi orang kepercayaan Richard untuk mengembangkan mesin teleporter miliknya. Hingga suatu ketika, di pesta sains sekolahnya, Dr. Franklin Storm (Reg E. Cathey) dan Sue Storm (Kate Mara) mendatanginya dan memberikan Richard beasiswa penuh atas karyanya.

Richard pun mengembangkan alat teleporter miliknya atas kemauan Dr. Franklin. Juga, dia mendapatkan rekomendasi untuk dibantu oleh Victor (Toby Kebbell) yang pernah dipercayai oleh Dr. Franklin dalam proyek yang sama. Pun, dibantu oleh Sue dan Johnny (Michael B. Jordan). Setelah berhasil, mereka tak dibolehi untuk pergi menggunakan teleporter untuk mendatangi planet yang dia temukan. Secara diam-diam, mereka bertiga ?Richard, Johnny dan Victor ?bersama Ben pergi ke sana dan mendapatkan bencana yang ternyata membuat mereka mempunyai kemampuan lain. 


Sebenarnya tak ada yang salah dengan apa yang diangkat oleh Josh Trank sebagai jalan cerita dari Fantastic Four. Pun, tak ada yang salah dengan membuat ulang film Fantastic Four yang telah lama usang dengan para pemain yang sudah memiliki jalannya masing-masing. Toh, dua seri Fantastic Four yang diarahkan oleh Tim Hughes pun tak mendapatkan respon yang memuaskan dari para kritikus film. Meskipun, beberapa penonton masih menikmati apa yang ditawarkan oleh Tim Hughes dalam filmnya.

Pun, dengan penuh percaya diri, 20th Century Fox menceritakan ulang Fantastic Four dengan beberapa tambahan yang membuat film ini terlihat lebih menarik. Dengan menunjuk Josh Trank sebagai sutradara, sebenarnya bukan sesuatu yang salah. Chronicle, film debut miliknya, mendapatkan respon yang sangat positif dari para kritikus. Sehingga tak salah bila 20th Century Fox mempercayakan proyek ini kepada Josh Trank.

Tak disangka, pertengkaran dan kekacauan Josh Trank di lokasi syuting Fantastic Four menyebabkan kehancuran luar biasa terhadap presentasi filmnya. Reboot Fantastic Four miliknya menjadi sebuah catastrophe dalam catatan film-film manusia berkekuatan super. Awal mula bagaimana Fantastic Four menjadi sebuah film manusia super dengan dasar scientific untuk meyakinkan cerita dasar memang terlihat sangat menarik. Hanya saja, apa yang telah dijelaskan oleh film ini yang kelewat rumit dan asyik sendiri ini pun terasa sia-sia. Karena paruh kedua film ini benar-benar hancur tak bersisa. 


Ada yang tak terkontrol ketika Fantastic Four berusaha untuk mengenalkan setiap karakter di dalam filmnya. Fantastic Four secara perlahan membangun tensi untuk filmnya. Terlalu banyak ide yang dituangkan ke dalam naskah yang ditulis ramai-ramai oleh Jeremy Slater, Josh Trank, dan Simon Kinberg. Dengan cerita yang berjalan perlahan, harusnya Josh Trank tahu untuk menyampaikan ceritanya secara terstruktur. Sayangnya, karena terlalu banyak atas apa yang akan diceritakan, Fantastic Four jatuh ke fase yang benar-benar membuat filmnya berada di titik yang sangat jenuh.

Meski adanya dasar scientific untuk lebih meyakinkan penontonnya, pun dengan durasi paruh awal yang terlalu lama tak lantas membuat karakter di dalamnya kuat. Karakter-karakter manusia super di dalamnya sangat terasa satu dimensi yang seharusnya menjadi kekuatan filmnya sendiri. Paruh kedua pun tak ada i?tikad baik untuk memperbaiki apa yang menjadi noda di dalam filmnya. Bencana besar datang untuk menghancurkan segala upaya Josh Trank mengarahkan film Fantastic Four menjadi sajian yang berada di atas film sebelumnya. 


Seperti sebuah home video berformat VCD yang dibagi menjadi 3 bagian, Fantastic Four seperti menonton dari disc nomor pertama dan langsung menikmati ending-nya di kepingan ketiga. Fantastic Four benar-benar berantakan dan apa yang sudah disajikan di paruh pertama benar-benar telah diabaikan oleh Josh Trank. Segala plot yang diceritakan panjang lebar pun tak terasa sia-sia. Masalah utama di Fantastic Four pun benar-benar kabur.

Segalanya dipaksa hadir di sisa 30 menit filmnya. Masalah baru hadir dan pergi dengan sekejap dan hal itu semakin membuat parah keseluruhan presentasi dari Fantastic Four. Pun ekspektasi penonton yang mengharapkan pameran visual effect untuk film ini pun siap-siap kecewa. Tak ada sama sekali adegan-adegan battle yang dapat membuat penonton yang haus akan hal itu terpenuhi rasa dahaganya. Dan ya, hal itu mengurangi lagi poin untuk Fantastic Four yang sudah sangat rendah. 


Perlunya sebuah reboot untuk memperbaiki film pendahulunya yang mendapat respon tak terlalu baik dari kritikus film pun tak dipenuhi oleh Josh Trank. Proyek reboot empat kawanan berkekuatan super ini malah jatuh menjadi sebuah bencana besar yang tak ada di sejarah film-film manusia kekuatan super. Paruh awal yang berjalan sangat lambat dan tak bisa mengembangkan apapun, paruh kedua yang sangat jatuh dan berantakan, benar-benar membuat Fantastic Four jatuh menuju lubang hitam yang mereka ciptakan sendiri. Believe the bad hype, Fantastic Four is that bad, very bad
 

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.