Showing posts with label Oktober. Show all posts
Showing posts with label Oktober. Show all posts

Wednesday, 25 November 2015

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran


Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchise besar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i?tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.

Saturday, 7 November 2015

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran


Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchise besar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i?tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.