Showing posts with label Jessica Chastain. Show all posts
Showing posts with label Jessica Chastain. Show all posts

Saturday, 2 June 2018

MOLLY'S GAME Is Well Played By Jessica Chastain and Aaron Sorkin

Now playing:

MOLLY?S GAME (Dir. Aaron Sorkin, 2017)



Jessica Chastain is a shoo-in to get an Oscar nomination for her role as Olympic-class skier-turned-Poker-Princess, Molly Bloom, in the crackling, flashy directorial debut of Aaron Sorkin, who is likely to score a nomination (or two) as well.

The real-life Bloom, whose book, ?Molly?s Game: The True Story of the 26-Year-Old Woman Behind the Most Exclusive, High-Stakes Underground Poker Game in the World,? this film is based on, was a target of an FBI investigation for running an illegal underground poker ring, which Sorkin lays out here in a movie that at times feels like a busy cluster of montages all crammed together.

That is to say that Sorkin has learned (or cribbed) a lot from David Fincher and Danny Boyle, the filmmakers he collaborated with on THE SOCIAL NETWORK and STEVE JOBS, as well as Martin Scorsese, Oliver Stone, or pretty much any modern director known for their fast-paced, kinetic style in telling close-to-true stories that are packed to the brim with sizzling, often sordid information.

Through sharply spoken narration, Chastain?s Bloom gives us and her lawyer Charlie Jaffey (a wonderfully understated Idris Elba, who convincingly works his American accent as well as he did on The Wire) her side to how she built her secret poker empire that involved movie stars, sports stars, business titans, and, most dangerously, members of the Russian mafia.

We see how Bloom was goaded into being a hard driven perfectionist by her strict, demanding psychologist father (Kevin Costner, much more effective as a father figure here than in MAN OF STEEL), and how a skiing accident forced her to reevaluate her career goals. After a brief stint as a cocktail waitress in LA, she works an office assistant to a vulgar producer (played with just the right amount of jaded sleaziness by Jeremy Strong) who introduces her to the world of exclusive back room poker matches with extremely expensive buy-ins.

At her first game at the Cobra Lounge (read: Viper Room), Bloom meets Michael Cera as an A-list actor who?s only identified as Player X (a composite of celebrities such as Ben Affleck and Leonardo DiCaprio, among others), and becomes one of her principal players when she leaves her boss, and takes his clients to hold her own games in luxurious hotel suites staffed with former Playboy playmates.

In a dizzying array of flashbacks and flash-forwards, we watch as Bloom gets deeper and deeper into a lifestyle of debts and drugs (to help her stay awake for days), bottoming out when she?s brutally beaten up by a mob goon because she refuses the offer of protection by a couple of Italian mafiosos.

One of Sorkin?s most familiar motifs, over confident people sparing with other over confident people, is on full display here in the exchanges between Chastain and Elba, with his trademark snappy dialogue dominating every scene. Sorkin?s screenplay and direction is just as confident as his characters, and it?s a buzz seeing him put all these slick puzzle pieces together into this often exhilarating portrait. It?s also great to see Sorkin refrain from using his patented ?walks and talks,? which were a mainstay of one of his most well known works - the presidential television drama, The West Wing.


The sculpting of Sorkin?s material is excellently handled by a trio of editors - Alan Baumgarten, Elliot Graham, and Josh Schaeffer, who also deserve Academy action. It may feel like ?cut, cut, cut? at times but, dammit, they make the majority of cuts flow into one another with exciting energy while enhancing Charlotte Bruus Christensen?s crisp cinematography from shot to shot. 

The film is sprinkled with amusing supporting turns by Brian d?Arcy James as a poker player so lousy that he?s dubbed ?Bad Brad? by Bloom, Chris O?Dowd as a Irish drunkard who, like many of the players, falls in love with Bloom; a sweaty Bill Camp as a seasoned card shark, who gets in way over his head; and Graham Greene as the judge overseeing Bloom?s case.

But MOLLY?S GAME is first and foremost a showcase for the radiant Chastain and the rapidly clever Sorkin, who both well play their hands at every jazzy juncture.

Despite being two hours, and twenty minutes long the movie mostly maintains its intensity and momentum. It does get close to being bogged down with too many details, but it largely transcends its well worn rise and fall arc with its wit and stylish gusto. Some folks may walk out of it wondering what the point of all of it is, but I bet they will have been hugely entertained in the process.

More later...

Wednesday, 25 November 2015

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

CRIMSON PEAK (2015) REVIEW : Enchanting Yet Powerful Gothic Romance


Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugrahnya tersebut, Guillermo Del Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya penyutradaraan darinya. 


Poin yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang menjanjikan adalah kinerjanya dalam film Pan?s Labyrinth. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk yang berdampak mimpi buruk ini menjadi sajian yang cantik. Sehingga, banyak penonton yang menantikan karya-karya dari sutradara asal Meksiko ini. Di tahun 2015 ini, Guillermo Del Toro menghasilkan karya terbarunya yang menggabungkan sebuah film romance dengan gaya gothic yang sangat khas dengannya.

Crimson Peak, proyek terbaru dari Guillermo Del Toro ini mengalami pengunduran jadwal rilis dari Juni ke Oktober. Dibintangi dari Mia Wasikowska, Tom Hiddleston, dan Jessica Chastain, Crimson Peak menjadi sebuah film romance dengan level yang baru lewat pengarahan luar biasa dari Guillermo Del Toro. Crimson Peak menyajikan sebuah film horor artistik yang memiliki kekuatan luar biasa dari pembangunan cerita, karakter, dan atmosfir yang mengagumkan. 


Edith Cushing (Mia Wasikowska), anak dari Carter Cushing (Jim Beaver) memercayai tentang keberadaan sosok hantu. Sosok tersebut berusaha dia tuangkan ke dalam cerita-cerita yang dia tulis. Meskipun, karya-karyanya ditolak di berbagai penerbit, dia tetap tak patah semangat untuk menuliskan ceritanya. Hingga pada suatu saat, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) datang kepada Carter untuk meminta bantuan donasi terhadap proyek mesin yang sedang dia buat. Tak sengaja, Edith menaruh hati terhadap Thomas karena kepintaran dan kharisma darinya.

Hubungan tersebut tak mendapat restu dari Carter dan Edith pun dilema antara Thomas atau teman masa kecilnya, Alan McMichael (Charlie Hunnam). Musibah datang pada Edith, Carter dibunuh oleh seseorang yang tak tahu siapa. Edith melarikan diri dari musibah tersebut dan memutuskan untuk menikah dengan Thomas Sharpe. Edith pindah ke kastil tua milik Thomas yang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Di sana, dia tinggal bersama dengan kakak Thomas, Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Di sana, Edith merasa ada yang menerornya, sosok hantu yang ada di dalam kastil tua ini. 


Menjadikan film dengan poster, trailer  dan setting mencekam menjadi sebuah film drama romance memang bukan sesuatu yang lumrah. Tetapi, Guillermo Del Toro membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan mungkin untuk dibuat. Crimson Peak adalah pembuktian bahwa dengan premis cerita seaneh apapun Guillermo Del Toro berhasil membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menjanjikan di industri perfilman Hollywood.

Tak ada cerita terobosan baru dari Crimson Peak sebagai film bertema gothic. Drama tahun 80an dengan misteri yang kental tetapi memasukkan unsur supranatural di dalam filmnya. Crimson Peak memiliki cerita yang sangat intens di 119 menit filmnya. Naskah yang juga ditulis oleh Guillermo Del Toro ini berhasil memikat penontonnya untuk mengikuti setiap menit dari Crimson Peak. Cerita yang dibangun oleh Guillermo Del Toro ini memiliki kekuatan untuk menghipnotis penontonnya lewat gambar bergerak.

Tempo bertutur milik Crimson Peak memang bisa dibilang lambat. Paruh awal film Crimson Peak dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film Crimson Peak ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, Crimson Peak menambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya akan apa yang terjadi di dalam konflik ceritanya. 


Misteri yang disebar di dalam Crimson Peak ini tak terlalu terburu-buru. Sedikit demi sedikiit, Guillermo Del Toro menaruh setiap keping teka-teki di dalam filmnya. Perlahan, Guillermo Del Toro membanguh misteri yang kuat di dalam ceritanya. Bertambahnya durasi di dalam Crimson Peak, tensi cerita pun semakin naik. Bukan hanya dari aspek kepingan teka-teki yang disebar saja, tetapi dari pembangunan cerita dari Del Toro yang semakin kokoh hingga paruh akhir filmnya.

Ketika waktu yang tepat datang, barulah Crimson Peak berada dalam puncak emosi di dalam filmnya. Final showdown di dalam film Crimson Peak memiliki kekuatan luar biasa. Menggabungkan setiap tensi cerita bercampur misteri yang sudah terjawab yang bisa membuat penonton ikut serta merasakan atmosfir di dalam filmnya. Kejutan-kejutan yang ada di dalam akhir film akan dengan mudah membuat penontonnya merasa kaget dan hal itu tersimpan rapi berkat pengarahan dari Guillermo Del Toro.

Seperti Edith Cushing yang menganggap hantu di dalam cerita-ceritanya adalah sebuah metafora dalam kehidupan, Guillermo Del Toro pun juga menjadikan hantu-hantu itu sebagai metafora pertarungan psikis dari karakter Edith Cushing. Dan bisa dibilang, Crimson Peak bukan hanya menggabungkan romance dan gothic, tetapi juga thriller psychological yang juga menjadi poin penting di dalam film ini. Sehingga, dengan adanya poin itu Crimson Peak menambah kekuatannya. 


Detil artistik di dalam film Crimson Peak pun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh Del Toro. Hal tersebut menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Crimson Peak berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detil-detil menarik, tata busana nomor wahid, serta permainan warna merah dengan hitam dan putih yang juga tampil sangat cantik. Dengan beberapa aspek itu, Del Toro berhasil membangun suasana mencekam meskipun penampakan makhluk supranatural tersebut tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.

Dengan segala pengarahan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Crimson Peak menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat indah. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikan Crimson Peak tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film Crimson Peak. Dan hal ini berdampak bagi ketenangan psikis penontonnya, mereka seperti dihantui dan diusik lewat film horornya yang indah dan luar biasa kuat.

Saturday, 7 November 2015

THE MARTIAN (2015) REVIEW : Another Bold Performance In Sci-Fi Genre

 
3 tahun terakhir ini bisa jadi adalah tahun di mana perjalanan ke luar angkasa menjadi salah satu konflik yang menarik untuk diangkat menjadi sebuah film. Di setiap tahunnya, film-film ber-setting tempat luar angkasa itu selalu mendapatkan respon positif dari kritikus maupun penonton film. Gravity di tahun 2013, mematok nilai yang sangat tinggi untuk film bertema ini. Di tahun 2014, Interstellar milik Christopher Nolan pun juga menghempas pemikiran penontonnya dengan alur cerita yang ditawarkan.
 
Maka di tahun 2015, salah satu master di genre ini yaitu Ridley Scott kembali menghadirkan sebuah petualangan luar angkasa yang diadaptasi dari buku milik Andy Weir. The Martian, buku yang menjadi salah satu best seller di New York ini diadaptasi menjadi sebuah naskah oleh Drew Goddard yang selalu berhasil menulis ulang sebuah buku ke dalam naskah yang ditulisnya. Juga, film ini dibintangi oleh bintang-bintang ternama dan salah satunya adalah Matt Damon di deretan aktor utamanya.

Dengan adanya Gravity dan Interstellar dalam deretan film-film ber-setting luar angkasa, The Martian jelas tak bisa menawarkan sebuah terobosan cerita baru untuk ditawarkan kepada penontonnya. Tetapi tanpa adanya premis cerita yang baru, The Martian tetap bisa menghadirkan sebuah film bertahan hidup di luar angkasa yang sangat menyenangkan untuk diikuti. Dengan durasi 141 menit, The Martian bisa menjadi salah satu pengalaman merasakan luar angkasa di layar perak yang sangat seru. 


Satu tim dikirim oleh NASA ke planet Mars untuk bisa menemukan materi-materi kehidupan di sana. Tim tersebut terdiri dari Mark Watney (Matt Damon), Melissa Lewis (Jessica Chastain), Beth Johanssen (Kate Mara), Rick Martinez (Michael Pena), dan Chris Beck (Sebastian Stan). Di tengah perjalanan dalam menyelesaikan misinya tersebut, badai datang menghampiri mereka dan membuat mereka terpaksa harus meninggalkan planet Mars sebelum misinya selesai.

Di perjalanan menuju ke pesawat luar angkasa mereka bernama Hermes, Mark Watney terhantam oleh satelit milik tim tersebut dan membuatnya menghilang saat badai. Anggota tim berusaha untuk menyelamatkan Mark Watney, tetapi waktunya tak cukup dan mereka merasa bahwa Mark Watney terdeteksi telah meninggal karena kehilangan oksigen. Setelah anggota tim kembali ke pesawat dan menuju kembali ke bumi, Mark Watney ternyata masih selamat dan dia berusaha bertahan hidup di planet Mars sampai NASA datang menyelamatkan mereka. 


Dengan patokan yang sangat tinggi dari dua film ber-setting luar angkasa yang sama di 2 tahun berturut-turut, rasanya akan susah bagi The Martian untuk bisa mendapatkan respon serupa dari para kritikus atau penonton film. Tetapi, akan berbeda ketika film ini ditangani oleh Ridley Scott. Orang yang berhasil mengarahkan genre science fiction lewat film Prometheus, Blade Runner, atau pun film legendarisnya Alien.

Benar, The Martian bisa tampil sangat prima untuk menawarkan sebuah konflik bertahan hidup di luar angkasa yang menyenangkan dan berbeda dari film-film yang sama di genre ini. The Martian memang tak bisa menawarkan sesuatu yang baru jika dibandingkan dengan Gravity atau Interstellar. The Martian akan cenderung berpremis sama dengan Gravity tetapi juga memiliki babak yang sama dengan Interstellar. Hanya saja, The Martian memiliki nuansa yang berbeda dari dua film itu.

Lupakan 2 film yang selalu menjadi bayang-bayang The Martian atau film-film lain yang bertema serupa karena The Martian memiliki caranya sendiri untuk menghipnotis penontonnya. Di dalam durasi yang bisa dibilang panjang, The Martian memiliki cara penyampaian yang sangat dinamis tanpa ada rasa jenuh yang menghampiri penontonnya. Drew Goddard tahu bagaimana caranya untuk menyampaikan kembali apa yang ada di buku ke dalam naskahnya. Dia bisa menyusun alur cerita yang seharusnya bisa saja terpecah dalam 3 babak yang terasa episodik. 


Penyusunan cerita yang bagus dari Drew Goddard dalam naskahnya, tak berarti apa-apa jika Ridley Scott juga tak berhasil mengarahkan filmnya dengan baik. Ada 3 setting utama yang ada di dalam film The Martian, yaitu Mars, Pesawat Hermes, dan juga Kantor NASA. Ridley Scott sangat berhasil mengoneksikan ketiga setting tersebut meskipun tak terkoneksi secara langsung. Meski hanya terhubung lewat Interkom sebagai media penyampaian pesan setiap karakternya, The Martian bisa membangun atmosfir dan tensi yang kuat lewat dialog pun juga dengan keterikatan setiap karakternya.

Karakter-karakter di dalam The Martian cukup banyak untuk menggerakkan plot ceritanya yang mungkin sederhana, tetapi Ridley Scott bisa memaksimalkan setiap karakternya sehingga The Martian tersajikan dengan kuat. Bukan malah menjadi bumerang bagi filmnya yang bisa saja terpecah fokusnya hanya karena karakter di dalamnya terlalu banyak. Justru, karakter-karakter yang banyak itu malah memperkuat konten utama dari The Martian yang cukup sederhana.

Pun, The Martian mengangkat isu kehumasan yang direpresentasikan kepada salah satu karakter yang diperankan oleh Chiwetel Ejiofor. Bagaimana seorang jembatan perusahaan kepada khalayak untuk mengklarifikasi konflik besar yang terjadi di perusahaan tersebut. Juga, strategi apa yang digunakan seorang humas agar tidak menimbulkan keresahan luar biasa bagi khalayak tentang masalah yang sedang menyerang suatu perusahaan tersebut. 


The Martian pun memiliki suasana retro yang menyenangkan sebagai sebuah film ber-setting luar angkasa. Dengan pilihan-plihan playlist lagu dari Abba, David Bowie, dan beberapa musisi lain yang datang  di tahun 80-an, The Martian jelas menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa yang berbeda. Pun juga, The Martian mematahkan suasana film-film di genre ini yang melulu serius dalam penceritaannya dan dengan mudah menyita perhatian penontonnya.

The Martian memang tak bisa dihindarkan akan selalu dikomparasikan dengan dua film ber-setting dan ber-genre yang sama yang hadir di 2 tahun terakhir. The Martian memang tak bisa menghadirkan premis cerita yang baru dengan hadirnya Gravity atau Interstellar. Tetapi, bukan berarti The Martian bisa dipandang sebelah mata, karena The Martian tampil sangat prima lewat arahan yang kuat dari Ridley Scott dan didukung naskah yang ditulis oleh Drew Goddard. Sehingga, The Martian adalah salah satu film space survival yang bisa dijajarkan menjadi salah satu film ber-setting luar angkasa terbaik dan juga salah satu yang terbaik tahun ini.

CRIMSON PEAK (2015) REVIEW : Enchanting Yet Powerful Gothic Romance


Menghadirkan sebuah film mencekam dengan mempedulikan detil-detil artistik adalah keahlian dari sutradara, Guillermo Del Toro. Dengan anugrahnya tersebut, Guillermo Del Toro bisa menjadikan sebuah film horor naik satu tingkat dibanding dengan film-film horor lainnya. Tak hanya dalam film-film horor, tetapi Guillermo Del Toro tetap bisa mengarahkan film-film fantasi lainnya dengan kekhasan gaya penyutradaraan darinya. 


Poin yang membuat Guillermo Del Toro menjadi salah satu sutradara yang menjanjikan adalah kinerjanya dalam film Pan?s Labyrinth. Dia berhasil menjadikan sebuah film yang penuh dengan makhluk-makhluk yang berdampak mimpi buruk ini menjadi sajian yang cantik. Sehingga, banyak penonton yang menantikan karya-karya dari sutradara asal Meksiko ini. Di tahun 2015 ini, Guillermo Del Toro menghasilkan karya terbarunya yang menggabungkan sebuah film romance dengan gaya gothic yang sangat khas dengannya.

Crimson Peak, proyek terbaru dari Guillermo Del Toro ini mengalami pengunduran jadwal rilis dari Juni ke Oktober. Dibintangi dari Mia Wasikowska, Tom Hiddleston, dan Jessica Chastain, Crimson Peak menjadi sebuah film romance dengan level yang baru lewat pengarahan luar biasa dari Guillermo Del Toro. Crimson Peak menyajikan sebuah film horor artistik yang memiliki kekuatan luar biasa dari pembangunan cerita, karakter, dan atmosfir yang mengagumkan. 


Edith Cushing (Mia Wasikowska), anak dari Carter Cushing (Jim Beaver) memercayai tentang keberadaan sosok hantu. Sosok tersebut berusaha dia tuangkan ke dalam cerita-cerita yang dia tulis. Meskipun, karya-karyanya ditolak di berbagai penerbit, dia tetap tak patah semangat untuk menuliskan ceritanya. Hingga pada suatu saat, Thomas Sharpe (Tom Hiddleston) datang kepada Carter untuk meminta bantuan donasi terhadap proyek mesin yang sedang dia buat. Tak sengaja, Edith menaruh hati terhadap Thomas karena kepintaran dan kharisma darinya.

Hubungan tersebut tak mendapat restu dari Carter dan Edith pun dilema antara Thomas atau teman masa kecilnya, Alan McMichael (Charlie Hunnam). Musibah datang pada Edith, Carter dibunuh oleh seseorang yang tak tahu siapa. Edith melarikan diri dari musibah tersebut dan memutuskan untuk menikah dengan Thomas Sharpe. Edith pindah ke kastil tua milik Thomas yang dijadikannya sebagai tempat tinggal. Di sana, dia tinggal bersama dengan kakak Thomas, Lucille Sharpe (Jessica Chastain). Di sana, Edith merasa ada yang menerornya, sosok hantu yang ada di dalam kastil tua ini. 


Menjadikan film dengan poster, trailer  dan setting mencekam menjadi sebuah film drama romance memang bukan sesuatu yang lumrah. Tetapi, Guillermo Del Toro membuat hal tersebut menjadi sesuatu yang wajar dan mungkin untuk dibuat. Crimson Peak adalah pembuktian bahwa dengan premis cerita seaneh apapun Guillermo Del Toro berhasil membuktikan bahwa dia adalah sutradara yang menjanjikan di industri perfilman Hollywood.

Tak ada cerita terobosan baru dari Crimson Peak sebagai film bertema gothic. Drama tahun 80an dengan misteri yang kental tetapi memasukkan unsur supranatural di dalam filmnya. Crimson Peak memiliki cerita yang sangat intens di 119 menit filmnya. Naskah yang juga ditulis oleh Guillermo Del Toro ini berhasil memikat penontonnya untuk mengikuti setiap menit dari Crimson Peak. Cerita yang dibangun oleh Guillermo Del Toro ini memiliki kekuatan untuk menghipnotis penontonnya lewat gambar bergerak.

Tempo bertutur milik Crimson Peak memang bisa dibilang lambat. Paruh awal film Crimson Peak dipenuhi dengan pembangunan masing-masing karakter yang begitu kuat. Sehingga, penonton bisa menaruh simpati kepada karakter-karakter yang ada di dalam film Crimson Peak ini. Hingga semakin bertambahnya durasi, Crimson Peak menambahkan unsur-unsur misteri yang membuat penonton bertanya-tanya akan apa yang terjadi di dalam konflik ceritanya. 


Misteri yang disebar di dalam Crimson Peak ini tak terlalu terburu-buru. Sedikit demi sedikiit, Guillermo Del Toro menaruh setiap keping teka-teki di dalam filmnya. Perlahan, Guillermo Del Toro membanguh misteri yang kuat di dalam ceritanya. Bertambahnya durasi di dalam Crimson Peak, tensi cerita pun semakin naik. Bukan hanya dari aspek kepingan teka-teki yang disebar saja, tetapi dari pembangunan cerita dari Del Toro yang semakin kokoh hingga paruh akhir filmnya.

Ketika waktu yang tepat datang, barulah Crimson Peak berada dalam puncak emosi di dalam filmnya. Final showdown di dalam film Crimson Peak memiliki kekuatan luar biasa. Menggabungkan setiap tensi cerita bercampur misteri yang sudah terjawab yang bisa membuat penonton ikut serta merasakan atmosfir di dalam filmnya. Kejutan-kejutan yang ada di dalam akhir film akan dengan mudah membuat penontonnya merasa kaget dan hal itu tersimpan rapi berkat pengarahan dari Guillermo Del Toro.

Seperti Edith Cushing yang menganggap hantu di dalam cerita-ceritanya adalah sebuah metafora dalam kehidupan, Guillermo Del Toro pun juga menjadikan hantu-hantu itu sebagai metafora pertarungan psikis dari karakter Edith Cushing. Dan bisa dibilang, Crimson Peak bukan hanya menggabungkan romance dan gothic, tetapi juga thriller psychological yang juga menjadi poin penting di dalam film ini. Sehingga, dengan adanya poin itu Crimson Peak menambah kekuatannya. 


Detil artistik di dalam film Crimson Peak pun menjadi poin penting yang sangat diperhatikan oleh Del Toro. Hal tersebut menjadi satu poin wajib di setiap film milik Del Toro. Crimson Peak berhasil memanjakan mata penontonnya lewat detil-detil menarik, tata busana nomor wahid, serta permainan warna merah dengan hitam dan putih yang juga tampil sangat cantik. Dengan beberapa aspek itu, Del Toro berhasil membangun suasana mencekam meskipun penampakan makhluk supranatural tersebut tak terlalu memiliki poin besar bagi kelangsungan film ini.

Dengan segala pengarahan Guillermo Del Toro yang sangat visioner di dalam genre ini, Crimson Peak menjadi sebuah pengalaman menonton yang sangat indah. Penggabungan beberapa isu atau tema di dalam film ini menjadikan Crimson Peak tak kehilangan arah, malah menjadi sebuah kekuatan di dalam filmnya. Guillermo Del Toro berhasil membangun cerita dan karakter yang kuat di dalam film Crimson Peak. Dan hal ini berdampak bagi ketenangan psikis penontonnya, mereka seperti dihantui dan diusik lewat film horornya yang indah dan luar biasa kuat.

Sunday, 1 November 2015

Don?t Diss On Matt Damon And Miss THE MARTIAN


Now playing at multiplexes from here to Acidalia Planitia:

THE MARTIAN (Dir. Ridley Scott, 2015)


Two years ago around this time we had Alfonso Cuar?n?s GRAVITY, last year there was Christopher Nolan?s INTERSTELLAR, and now there?s this year?s cerebral sci-fi fall release about astronauts struggling for survival in space, Ridley Scott?s THE MARTIAN, an adaptation of the 2011 bestseller by Andrew Weir that I never got around to reading. And with the news that they just found water on Mars, it couldn't be more timely.


Set in the near future, the film stars Matt Damon as Mark Watney, a NASA Astronaut who is left behind by mistake on Mars when the crew of the Ares 3 mission are forced to evacuate during a dangerous dust storm. In the chaos, Damon?s Watney is impaled by flying debris and sent flying off into the distance, leaving his team members to believe that he?s dead.

After Watney regains consciousness and gets back to his house base module in the middle of a large northern basin on Mars called Acidalia Planitia (a real area on the planet) he sizes up the situation via a direct-to-camera video log: ?I have no way to contact NASA or my crewmates, but even if I could, it would take four years for another manned mission to reach me, and I?m in a hab designed to last 31 days.?

Our hero figures in order to make water (I guess this aspect is now retro-dated) and grow food on a planet where nothing grows, re-establish contact with NASA, and make the months long journey on the Mars rover cross-planet to the landing site of the next mission he?s ?going to have to science the shit out of this!?

Meanwhile back on earth, NASA scientists and officials, including Chiwetel Ejiofor as Director of Mars Mission, Jeff Daniels as the head of NASA, Kristen Wiig as NASA?s head of public relations, and Sean Bean as the flight director, find out that Watney is still alive and they attempt to do the math, with the help of Donald Glover as a awkward scruffy astrodynamicist, and unravel the red tape needed to get him back.

Oh, and the NASA brain trust struggles with whether or not to tell the returning crew headed by Jessica Chastain, who, guilt-stricken at leaving behind her fellow colleague, would surely go against orders to turn her ship around to go back and try to save him if she knew. Also on board with Chastain are Kate Mara, Michael Pe?a, Sebastian Stan, and Aksel Hennie, who each have their moments and add to the film?s driving force of humanity.

Damon?s performance as the can-do optimist Watney is so solid that you?ll forget about the controversial crap he?s said that?s had him raked over the coals by the press lately. Here he?s a guy you are really rooting for as he successfully grows a crop of potatoes and laughing with as he bitches about the only music he has to listen to ? Commander Chastain?s disco collection on her computer: ?I will not turn the beat around!?

Despite the stakes, which do carry considerable weight, this is one of Scott?s sunniest and most fun films. Especially when compared to his last space epic, the ALIEN prequel PROMETHEUS, which I found more grueling than a good time.

Sure, there shades of many movies in play here from APOLLO 13 to CASTAWAY; from the aforementioned GRAVITY to 127 HOURS and so on, but THE MARTIAN never feels derivative. Drew Goddard?s tightly scripted structure smoothes out the tropes into a thoroughly engaging, and consistently gripping narrative. It?s also the second film I?ve seen this week that well utilized the 3D format ? THE WALK was the other.

THE MARTIAN and THE WALK, which both open this week, are also alike in that they are inspirational epics that were immaculately shot by the same cinematographer, Dariusz Wolski. I?ll be shocked if Wolski doesn?t take home an Oscar next year for one of these visual feasts.

It?s so nice to be back in the ?movies are getting good again? season, with such a marvelously gripping movie as THE MARTIAN heading the herd. Just don?t be dissing on Damon so hard that you miss it.


More later...

Saturday, 31 October 2015

Don?t Diss On Matt Damon And Miss THE MARTIAN


Now playing at multiplexes from here to Acidalia Planitia:

THE MARTIAN (Dir. Ridley Scott, 2015)


Two years ago around this time we had Alfonso Cuar?n?s GRAVITY, last year there was Christopher Nolan?s INTERSTELLAR, and now there?s this year?s cerebral sci-fi fall release about astronauts struggling for survival in space, Ridley Scott?s THE MARTIAN, an adaptation of the 2011 bestseller by Andrew Weir that I never got around to reading. And with the news that they just found water on Mars, it couldn't be more timely.


Set in the near future, the film stars Matt Damon as Mark Watney, a NASA Astronaut who is left behind by mistake on Mars when the crew of the Ares 3 mission are forced to evacuate during a dangerous dust storm. In the chaos, Damon?s Watney is impaled by flying debris and sent flying off into the distance, leaving his team members to believe that he?s dead.

After Watney regains consciousness and gets back to his house base module in the middle of a large northern basin on Mars called Acidalia Planitia (a real area on the planet) he sizes up the situation via a direct-to-camera video log: ?I have no way to contact NASA or my crewmates, but even if I could, it would take four years for another manned mission to reach me, and I?m in a hab designed to last 31 days.?

Our hero figures in order to make water (I guess this aspect is now retro-dated) and grow food on a planet where nothing grows, re-establish contact with NASA, and make the months long journey on the Mars rover cross-planet to the landing site of the next mission he?s ?going to have to science the shit out of this!?

Meanwhile back on earth, NASA scientists and officials, including Chiwetel Ejiofor as Director of Mars Mission, Jeff Daniels as the head of NASA, Kristen Wiig as NASA?s head of public relations, and Sean Bean as the flight director, find out that Watney is still alive and they attempt to do the math, with the help of Donald Glover as a awkward scruffy astrodynamicist, and unravel the red tape needed to get him back.

Oh, and the NASA brain trust struggles with whether or not to tell the returning crew headed by Jessica Chastain, who, guilt-stricken at leaving behind her fellow colleague, would surely go against orders to turn her ship around to go back and try to save him if she knew. Also on board with Chastain are Kate Mara, Michael Pe?a, Sebastian Stan, and Aksel Hennie, who each have their moments and add to the film?s driving force of humanity.

Damon?s performance as the can-do optimist Watney is so solid that you?ll forget about the controversial crap he?s said that?s had him raked over the coals by the press lately. Here he?s a guy you are really rooting for as he successfully grows a crop of potatoes and laughing with as he bitches about the only music he has to listen to ? Commander Chastain?s disco collection on her computer: ?I will not turn the beat around!?

Despite the stakes, which do carry considerable weight, this is one of Scott?s sunniest and most fun films. Especially when compared to his last space epic, the ALIEN prequel PROMETHEUS, which I found more grueling than a good time.

Sure, there shades of many movies in play here from APOLLO 13 to CASTAWAY; from the aforementioned GRAVITY to 127 HOURS and so on, but THE MARTIAN never feels derivative. Drew Goddard?s tightly scripted structure smoothes out the tropes into a thoroughly engaging, and consistently gripping narrative. It?s also the second film I?ve seen this week that well utilized the 3D format ? THE WALK was the other.

THE MARTIAN and THE WALK, which both open this week, are also alike in that they are inspirational epics that were immaculately shot by the same cinematographer, Dariusz Wolski. I?ll be shocked if Wolski doesn?t take home an Oscar next year for one of these visual feasts.

It?s so nice to be back in the ?movies are getting good again? season, with such a marvelously gripping movie as THE MARTIAN heading the herd. Just don?t be dissing on Damon so hard that you miss it.


More later...