Showing posts with label Abimana Aryasatya. Show all posts
Showing posts with label Abimana Aryasatya. Show all posts

Thursday, 21 January 2016

BULAN TERBELAH DI LANGIT AMERIKA (2015) REVIEW : Cerita Terorisme Islam yang Diteroriskan

Kesuksesan dalam menggaet penonton mungkin menjadi salah satu poin penting bagi perfilman Indonesia. Entah, dengan menggaet jutaan penonton, hal tersebut bisa menebus modal yang sudah dikeluarkan oleh film tersebut atau tidak. Mungkin ini juga yang menjadi alasan mengapa novel-novel terbaru milik Hanum Salsabila Rais diangkat menjadi sebuah film layar lebar. Apalagi setelah 99 Cahaya Di Langit Eropa sukses menggaet total 1,5 juta penonton di dalam dua filmnya. 

Bulan Terbelah di Langit Amerika jelas diharapkan oleh Maxima Pictures menjadi sebuah Box Office Hit yang bisa mengekor kesuksesan film sebelumnya. Meskipun, proyek ini berada di tangan sutradara yang berbeda. Rizal Mantovani menggantikan Guntur Soeharjanto sebagai komandan tertinggi untuk mengarahkan perjalanan selanjutnya dari Hanum dan suaminya di negara Amerika. Bulan Terbelah di Langit Amerika tetap didukung dengan aktor aktris ternama Indonesia.

Sama seperti 99 Cahaya di Langit Eropa, Bulan Terbelah di Langit Amerika ini masih menjual eksistensi agama Islam di negara selain Indonesia. Tak seperti Guntur Soeharjanto, Rizal Mantovani membuat Bulan Terbelah Di Langit Amerika kehilangan poin utama dari filmnya. Alih-alih membahas terorisme agama yang menyerang agama Islam di negara Amerika, Bulan Terbelah di Langit Amerika malah jatuh menjadi sebuah film drama rumah tangga berbumbu islami. 


Diawali dengan bagaimana Hanum (Acha Septriasa) ditugaskan oleh bosnya untuk mengulik dan menulis artikel dengan judul ?What The World Would Be Better Without Islam??. Hal ini dikarenakan karena video yang terunggah di sebuah situs dengan judul ?Where?s My Dad?? yang bercerita tentang bagaimana ayahnya disangka teroris saat tragedi 9/11. Hanum pergi ke Amerika untuk mewawancarai narasumbernya yaitu Azima (Rianti Cartwright), Ibunda dari anak kecil tersebut.

Tetapi, perjalanan Hanum tak bisa berjalan mulus. Azima menolak dan menyuruh pergi Hanum karena isu yang dibahas sangat sensitif dengan warga Amerika. Hanum pun mulai memutar otak untuk mencari cara bagaimana bisa mendapatkan jawaban dan konten sebagai dasar tulisannya. Hanum tak berangkat sendirian, dia ditemani oleh sang suami, Rangga (Abimana Aryasatya) yang kebetulan juga mempunyai urusan di sana. Perjalanan mereka di negara Amerika tak hanya untu memenuhi tugas satu sama lain, tetapi juga menguji urusan rumah tangga mereka. 

 
Terorisme memang sering sekali disangkutpautkan dengan agama Islam. Sehingga, kejadian apapun yang mengatasnamakan terorisme jelas akan menyerang agama Islam. Hal ini juga terjadi ketika kejadian 9/11 terjadi. Salah satu kejadian paling fenomenal di dunia yang juga sekali lagi mengatasnamakan terorisme sebagai tersangka. Hal ini lah yang mendasari poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika. Mencoba mengangkat derajat agama Islam yang terlanjur memiliki citra buruk tentang sebuah terorisme.

Entah tak tahu seperti apa konten dari sumber aslinya, Bulan Terbelah di Langit Amerika sebenarnya berani menawarkan premis cerita yang seharusnya bisa menjanjikan. Usaha untuk membangkitkan kembali eksistensi yang lebih baik tentang agama Islam yang sudah menjadi kambing hitam tentang terorisme. Nyatanya, Rizal Mantovani tak menangkap secara baik poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika yang lebih menjanjikan ini.

Alih-alih membahas lebih dalam tentang minoritas Islam di negeri orang, Rizal Mantovani hanya bermain aman mengulik dapur rumah tangga Hanum dan Rangga dengan nafas islami. Tak lupa penggalan-penggalan kitab suci diselipkan ke beberapa dialog yang mungkin hanya sekedar menjadi sebuah orgasme para pengguna atribut keagamaan yang sama dengan karakter utamanya. Tak menjadi sebuah dialog simbolis yang dihadirkan sebagai sebuah bahan renungan tentang tuhan dan agama. 


Rizal Mantovani membanting setir poin utama dari Bulan Terbelah di Langit Amerika menjadi sebuah film romansa dewasa tentang pernikahan. Dialog-dialog simbolik tentang bulan terbelah memang ada dan menyangkut dua poin penting filmnya yaitu terorisme agama dan romansa pernikahan. Hanya saja Rizal Mantovani tak bisa menggabungkan kedua hal itu dengan irama yang sama. Maka perumpaan simbolik itu terkesan menggelikan dan tak dapat mendapat benang merah dari kedua poinnya.

Tak dapat dipungkiri, para pemain di film ini memiliki ikatan emosional yang sangat baik. Acha Septriasa, Abimana Aryasatya, Nino Fernandez, dan Hannah Al-Rashid bisa membuat Bulan Terbelah Di Langit Amerika tak jatuh terlalu dalam. Penampilan mereka berhasil membuat Bulan Terbelah di Langit Amerika memiliki poin menarik dalam mengulik romansa dewasa tentang pernikahan. Hanya saja ketika landasan agama yang diselipkan ke dialognya, ada sesuatu yang mengganjal hadir di dalamnya. 



Terasa ada keraguan menyertai mereka yang sedang tak tahu maksud secara lebih dalam tentang landasan agama yang mereka lantunkan di dalam dialog mereka. Sehingga, apa yang mereka tampilkan pun terkesan dibuat-buat. Mereka sendiri terlihat tak nyaman dengan atribut-atribut agama yang berusaha mereka kenakan untuk mendalami karakter yang dimainkan. Tetapi, tanpa atribut itu, calon penonton yang sudah mereka targetkan tak akan berbondong-bondong hadir ke bioskop untuk menyaksikan film ini.

Bukan suatu yang salah ketika menyelipkan drama romansa pernikahan ke dalam film Bulan Terbelah di Langit Amerika. Hanya saja, Rizal Mantovani belum benar mencarikan benang merah yang mampu menggabungkan perumpamaan simbolik tentang bulan terbelah dengan dua poin utamanya. Ikatan emosional para pemainnya dan kualitas akting mereka memang sudah mumpuni. Hanya saja, bagaimana mereka masih merasa canggung dengan atribut agama yang mereka kenakan di dalam karakternya yang membuat Bulan Terbelah di Langit Amerika terkesan tak nyata. 

NEGERI VAN ORANJE (2015) REVIEW : Kisah Kasih Di Negeri Orang


Dengan setting luar negeri, biasanya para rumah produksi menyatakan eksklusifitas akan film yang digarapnya. Alih-alih mereka menggunakan konten dalam filmnya sebagai kekuatan untuk menjual filmnya, terlalu banya rumah produksi yang anya modal setting luar negeri pun mereka menjadikannya sebagai kekuatan utama dari sebuah film. Bahkan tiga film yang rilis pada Desember 2015 lalu, mereka menggunakan setting luar negeri sebagai kekuatan penjualan dari filmnya.
 
Salah satunya adalah Negeri Van Oranje, film garapan Endri Pelita yang diangkat dari novel best seller. Film yang dibuat oleh rumah produksi Falcon Pictures ini memiliki banyak sekali poin utama yang dijadikan sokongan promosi. Drama persahabatan, panorama indah kota Belanda, dan juga poin novel best seller. Pun, Negeri Van Oranje ditaburi para jajaran aktor aktris kelas A dengan paras tampan dan cantik yang juga memiliki massa di setiap namanya.

Dengan banyaknya taburan poin-poin yang bisa menjual film Negeri Van Oranje adalah sebuah tugas bagi Endri Pelita untuk mengemas film arahannya. Dan beruntung, Endri Pelita bermain aman ketika mengarahkan Negeri Van Oranje. Film ini masih memberikan esensi cantik dan manis akan sebuah kisah cinta dan persahabatan di negeri orang. Meskipun sumber permasalahan Negeri Van Oranje sering timbul dan tenggelam secara emosi dan terkadang mereka mencari cara untuk mencari masalah itu. 


Daus (Ge Pamungkas), Wicak (Abimana Aryasatya), Banjar (Arifin Putra), dan Geri (Chicco Jerikho), empat sahabat yang tak sengaja bertemu satu sama lain di sebuah stasiun kereta. Mereka kedinginan dan saling bercengkrama hingga akhirnya seorang wanita berparas cantik bernama Lintang (Tatjana Saphira) lewat di hadapan mereka. Hanya dari satu kejadian itu, mereka menjadi satu sahabat yang sangat akrab.

Tetapi, keempat pria yang ada di sekitar Lintang berusaha keras untuk saling memperebutkan hati Lintang. Mereka mencoba berbagai cara agar bisa menjadi lelaki pendamping Lintang. Hingga akhirnya, Lintang tahu dirinya dijadikan sebagai rebutan di saat Lintang sudah merasa nyaman bersahabat dengan mereka. Dan ketika pada saat itu, Lintang menikah dengan salah satu sahabatnya yang ternyata mampu menjawab pertanyaan hati Lintang. 


Dengan premis kisah persahabatan dan cinta, entah kenapa ini bisa menjadi poin menarik bagi calon penonton. Teringat dengan film arahan Rizal Mantovani, 5 Cm yang juga bisa menebus angka 2 juta penonton. Pun film itu memiliki poin-poin yang sama dengan Negeri Van Oranje, hanya saja bukan keindahan negeri orang yang menjadi kekuatan, tapi panorama indah alam negeri sendiri. Dan Negeri Van Oranje punya potensi yang bisa diharapkan sama dengan 5 Cm yang mendatangkan banyak penontonnya.

Negeri Van Oranje memiliki presentasi yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan 5 Cm. Presentasi manis dari Negeri Van Oranje muncul dari penulisan naskah adaptasi dari bukunya. Pun, dikemas dengan presentasi cerita yang menarik sehingga penonton tergugah untuk mengikuti isi cerita Negeri Van Oranje. Pintarnya adalah penggunaan alur mundur untuk menceritakan isi Negeri Van Oranje dan memberikan satu kalimat penting di awal cerita sehingga penonton ingin tahu jawaban dari kalimat yang diutarakan di awal filmnya.

Titien Wattimena selaku penulis naskah bertutur dengan lembut di sepanjang film. Menyelipkan kalimat-kalimat manis yang tak murahan yang membuat Negeri Van Oranje terlihat kuat. Hanya saja, ada satu poin yang terlewat dalam Negeri Van Oranje. Drama persahabatan yang menjadi poin utama di dalam filmnya malah membuat distraksi di antara poin kisah lainnya. Persahabatan keempat karakter di dalamnya masih terasa artifisial. 


Pertemuan mereka pun terkesan dibuat sebagai formalitas penuturan cerita bagaimana mereka bisa bertemu. Tetapi, mengapa mereka memiliki alasan agar terus menjalin hubungan sebagai sahabat tak bisa terasa nyata hadir dan dirasakan oleh penonton. Pun, hubungan keempat pria di dalamnya hanya sekedar rival untuk membangun relasi lebih dengan Lintang. Dan ini terlihat kontradiktif sebagai alasan mereka untuk bersahabat satu sama lain.

Jajaran aktor dan aktrisnya pun terlihat belum memiliki relasi yang kuat. Ikatan emosi kelima pemain utamanya sebenarnya sudah ada, hanya saja masih terlihat mentah. Hal itu juga yang memperlemah drama persahabatan yang menjadi sub plot utama dari film ini. Tetapi beruntung, Negeri Van Oranje tak terlalu menonjolkan poin itu karena mungkin sudah tahu hal itu akan menjadi kekurangan dan seharusnya ditutupi oleh sang sutradara. 


Bagusnya, Endri Pelita berusaha keras menutupi kekurangan yang dimiliki oleh filmnya. Untuk menumpulkan sensitivitas penonton akan kekurangan dari film ini, Endri Pelita menawarkan panorama-panorama indah di setiap sudut kota di negara belanda. Meskipun penggunaan fake lens flare itu terkesan berlebihan, tetapi tata kamera yang diarahkan berhasil membuat mata penonton dimanjakan oleh pemandangan-pemandangan indah itu. Negeri Van Oranje pun bisa digunakan sebagai medium perjalanan kecil melihat keindahan sudut-sudut kota di negeri Belanda.

Negeri Van Oranje bukanlah sebuah presentasi sempurna dari Endri Pelita dalam menuturkan sebuah kisah cinta dan sahabat. Ada kekurangan dalam pengembangan konflik persahabatan yang membuatnya kurang tampil percaya diri.  Tetapi, Endri Pelita berusaha keras agar mengemas Negeri Van Oranje bisa tampil dengan segar dan hangat. Dan hal itu dibantu dengan sokongan naskah adaptasi yang ditulis oleh Titien Wattimena. Juga, kepingan panorama indah sudut kota negeri belanda yang menjadikan Negeri Van Oranje sebuah perjalanan kecil menyusuri kota. 

Wednesday, 25 November 2015

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran


Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchise besar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i?tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.

Saturday, 7 November 2015

3 : ALIF LAM MIM (2015) REVIEW : Tatkala Problematika Sosial Berdampak Pada Kehancuran


Menjadi salah satu sutradara yang layak diperhitungkan di kancah perfillman Indonesia, Anggy Umbara tak pernah absen untuk menghasilkan karya di setiap tahunnya. Dengan kesuksesan luar biasa dari Comic 8, semakin menegaskan lagi bahwa Anggy Umbara adalah rival bagi para sineas lain yang ingin bersaing. Memiliki proyek franchise besar yaitu Comic 8, Anggy Umbara kembali menyusun setup baru untuk dikembangkan agar menjadi franchise besar lainnya.
 
Menawarkan sesuatu yang berbeda, 3 : Alif Lam Mim, judul karya terbaru dari Anggy Umbara ini berpotensi untuk menarik minat penonton yang sudah terlanjur skeptis dengan genre film Indonesia yang monoton. Premis yang diusung oleh 3 : Alif Lam Mim ini memiliki isu yang sangat sensitif dan tidak dapat dipungkiri akan menimbulkan kontroversi. Tetapi, film ini juga bisa menjadi salah satu media untuk membuat surat terbuka terhadap isu yang selalu ada di negara yang selalu tanpa sengaja mematok kebenaran yang sudah pasti. 

Anggy Umbara berani mempertanyakan satu poin penting di dalam filmnya. Bagaimana jika apa yang selalu mereka percaya dan mereka anggap benar adalah ujian terbesar dan rintangan bagi segala manusia untuk bisa saling berbuat baik terhadap sesama? Bagaimana jika rasa kepemilikan terhadap apa yang mereka anggap benar yang terlalu signifikan malah membuat seseorang takabur dan melupakan toleransi yang seharusnya diajarkan dan menjadi dasar kita membangun relasi dengan sesama?  


Hal tersebut tergambar lewat cerita di dalam 3 : Alif Lam Mim, menceritakan tentang keadaan negara Indonesia paska kehancuran. Di tahun 2036, Indonesia masa depan adalah sebuah negara dengan pemahaman liberal dan menganggap bahwa memihak di satu agama adalah masalah utamanya. Plot cerita dijalankan lewat tiga karakter berbeda dengan latar belakang pembangun karakter yang sama. Alif (Cornelius Sunny), Lam (Abimana Aryasatya), dan Mim (Agus Kuncoro)

Mereka menjadi sosok individu yang berbeda untuk menjalani hidup mereka. Alif, menjadi seorang polisi dengan paham liberal sesuai dengan negara Indonesia saat itu. Lam, seorang jurnalistik yang harus berperang dengan pekerjaannya sendiri untuk tetap bisa hidup beriringan dengan kepercayaan yang dipegangnya. Dan Mim, memutuskan untuk tetap membela kepercayaan yang mereka pegang meski akan terus dianggap ancaman. 


3 : Alif Lam Mim menawarkan premis dan potensi yang menarik dari sekian banyak film-film Indonesia yang ada. Anggy Umbara berusaha untuk mencari celah dan memberikan pandangan selangkah lebih maju untuk mengembangkan perfilman Indonesia yang sudah minim akan terobosan. 3 : Alif Lam Mim berani untuk menggambarkan Indonesia paska kehancuran yang disebabkan oleh problematika sehari-hari negara ini sendiri. Sang sutradara membangun pemahaman baru yang menyangkut pautkan problematika ini ke dalam filmnya.

Arogansi dalam membela apa yang mereka percaya itu benar menjadi problematika yang tak akan pernah tahu jawabannya dan tak akan pernah habis untuk dibahas. Hal tersebut menguap menjadi suatu isu yang sensitif untuk disinggung oleh beberapa pihak. Merasa geregetan dengan isu tersebut, Anggy Umbara memasukkan konten tersebut  ke dalam naskah film terbarunya. Dan ditulis ramai-ramai dengan 2 saudaranya, Fajar dan Bounty Umbara.

Presentasi 3 : Alif Lam Mim memang belum bisa dikatakan sempurna meskipun memiliki konten yang dahsyat. Memasukkan banyak sekali isu sosial yang berusaha untuk disindir sehingga konten-konten itu belum bisa menyatukan kepingan-kepingan cerita yang dibangun. Apalagi, kekhasan pengarahan dari sutradara Comic 8 ini adalah memecah setiap keping cerita karakternya satu persatu. Berusaha menguliti sang karakter agar memiliki pendalaman karakter yang seimbang.


Di luar presentasinya yang belum sempurna, setidaknya Anggy Umbara tahu dan berusaha untuk membuat filmnya menjadi salah satu yang berbeda di lini film Indonesia lainnya. Juga, naskah penuh pertanyaan kontemplatif tentang kehidupan. Dilempar kembali oleh sang sutradara untuk menampar sisi arogansi dan acuh manusia tentang kepercayaan yang mereka pegang ternyata adalah sebuah bumerang bagi kehidupan mereka bersosial.

Meskipun, naskah milik Umbara bersaudara ini masih terkesan pretensius dan salah kaprah untuk membangun idealisme baru bagi filmnya. Berusaha untuk tidak terkesan stereotip memberikan pandangan terhadap suatu kepercayaan, malah film 3 : Alif Lam Mim tetap menegaskan bahwa satu kepercayaan tersebut adalah suatu kebenaran yang absolut. Tanpa sengaja, mereka menempel atribut dari diri pembuatnya ke dalam naskah yang mereka tulis. Sehingga, bisa jadi film ini tak bisa menjadi sajian yang universal dan mengusik keberadaan instansi dan orang-orang terkait lainnya yang juga diakui.

Tetap, 3 : Alif Lam Mim memberikan i?tikad baik setidaknya untuk menjadi sesuatu yang berbeda dari konten dan presentasi. Dengan konten yang berat, Anggy Umbara tetap mengemas filmnya menjadi sesuatu yang megah dan mahal. Semua konten cerita yang berat itu ditampilkan secara eksplisit dan tak perlu basa-basi sehingga penonton bisa menyerap apa yang coba disampaikan oleh Anggy Umbara. Tanpa melupakan bahwa film ini juga bisa menjadi media refleksi penonton tentang kebenaran kepercayaan mereka. Sudah benarkah cara mereka untuk membela apa yang mereka anggap benar? 


Maka di luar presentasinya yang belum dalam taraf sempurna, 3 : Alif Lam Mim berusaha untuk tampil berbeda dan memberikan sumbangsih besar di deretan film Indonesia lainnya. Anggy Umbara berani untuk mengangkat isu sensitif tentang suatu kepercayaan di dalam film terbarunya. Meskipun, ada satu poin yang terlewat ketika tanpa sengaja menempelkan atribut dirinya ke dalam naskah filmnya. Setidaknya, 3 : Alif Lam Mim bisa dijadikan sebuah pencerminan dan kontemplasi akan kehidupan sosietas negara yang terbelah dalam beberapa kubu yang merasa paling benar.