Thursday, 26 November 2015

Movie Review: Spectre..casts a terrible shadow on the Bond franchise



Mr Mendes ? let?s just face it. You don?t ?get? Bond. Either that, or the Bond that I?ve been a fan of - especially in the Pierce Brosnan era and post that in Casino Royale ? the one that was like a guilty pleasure that took me on an action packed, escapist adventure albeit with a wafer thin plot ? is more a matter of me not being mature enough and nothing to do with your seeming intent to kill everything that is beloved about this (so far) wonderful franchise. I sincerely doubt that is the case though.

I was appalled after watching Spectre and I wouldn?t recommend it to anybody ? least of all fans of the action adventure Bond like myself. I had a sneaky suspicion post Skyfall itself ? while the world was marveling at what Mr. Mendes had achieved ? humanizing Bond and all that drivel ? I saw it as a ?wannabe Dark Knight? that didn?t even come close and a homage to HomeAlone in its second half. Still, I wanted to give it the benefit of the doubt. Skyfall had its moments ? maybe Sam Mendes too could do justice to Bond.

After sitting through an agonizing 2 hours 30 minutes of Spectre though, I am firmly convinced -if you want to save the Bond franchise, please hand over the reins to someone who understands him better. We might as well invite Mr Mendes to Bollywood though ? what with true love, heroic rescues and even I love you moments, why he would fit right in.

Spectre doesn?t feel like a Bond movie. The start is promising ? one explosive action sequence makes you sit up and take notice. And then, it all just dies a slow and painful death. Bond is supposed to be about Bond himself, his death defying stunts, his dogged single mindedness on the mission and his outlandish actions to stay on course with one action sequence leading into another ? a web of deceit, espionage, sabotage and master plans galore. Instead Mr. Mendes will have you see the natural beauty, sights and sounds of the various places Bond ends up visiting. There will be slow ?supposedly? meaningful close up shots and as you gear up for something interesting to come, it?ll abruptly cut to the next scene leaving you wondering why was there a close up in the first place. This happens too many times to keep count.

The good and there is very little of it in my view, is the handful of action sequences that are shot well and keep you somewhat interested. There?s a ridiculous one involving a plane ? I don?t allude to that one. In between, it also manages a street car race/chase which could easily have been straight out of the Fast and Furious franchise. Let?s ignore that one as well. The camera angles and cinematography is the other plus.

Daniel Craig is also in sleepwalk mode in his role. Christoph Waltz plays his act well and has commanding screen presence. Ralph Fiennes is a fine actor but he is wasted as the new M and the new Q is too much of a kid. Like so many of the Bollywood remakes of old movies, Mr. Mendes just seems intent on re-modelling Bond to the very opposite of all that it was, even if it shreds the very soul of the franchise in the process.

I guess Spectre is aptly named ? it is truly a sinister apparition that threatens the Bond franchise to have the most painful of last memories. This is not how I want to see the Bond franchise end. He deserves a better farewell than this. There was some talk of Nolan taking over this franchise, before Mr. Mendes unfortunately decided to oblige us one more time. Maybe Nolan can provide some saving grace. Somebody, anybody ? let?s do justice to Bond ? get one more action packed adventure and let him have his moment in the sun one last time before he fades into the sunset.

Wednesday, 25 November 2015

MALAM MINGGU MIKO MOVIE (2014) REVIEW : Old Template, New Title



Diangkat dari sebuah Web Series yang secara tak sengaja menjadi sebuah hits di kalangan remaja. Yang pada awalnya seri ini dirilis secara periodik lewat situs Youtube. Malam Minggu Miko, sebuah web series yang dibuat oleh Raditya Dika yang juga salah satu dari penulis serta Comic ternama di Indonesia. Di versi layar lebarnya kali ini, Raditya Dika juga berkesempatan untuk mengarahkan serta menulis langsung skenario film ini. 


Malam Minggu Miko tentu masih memiliki template dari web series-nya. Pria bernama Miko (Raditya Dika) yang lagi-lagi gagal menjalin hubungan dengan seorang wanita. Hal ini menyebabkan dia harus melewati setiap malam minggunya dengan peristiwa tragis dengan wanita yang sedang dekat dengannya. Hingga suatu saat, temannya Ryan (Ryan Adriandhy) kembali lagi menemui Miko untuk melepaskan sebuah kutukannya agar mendapatkan kekasih. 

Menurut Ryan, kutukan itu berada di jas laboratorium milik Miko pada saat SMP dengan tulisan tentang cinta-cintaan. Akhirnya, Miko pun mencari tahu siapa yang menuliskan kutukan tersebut di Jas Laboratorium pada saat SMP. Miko dan Ryan pun memiliki nama-nama untuk diinvestigasi yang akhirnya membuat Miko menemukan seseorang yang cocok di hatinya. 


Pointless Humor about love. 

Raditya Dika masih saja belum jera untuk menyapa lagi penontonnya di layar bioskop. Ya siapa yang bisa menghentikan dia, karena nyatanya film-film miliknya selalu laris manis lantaran nama Dika yang sudah memiliki target pasarnya sendiri. Setelah Marmut Merah Jambu yang juga berhasil dari segi penonton maupun konten di dalamnya, tentu beberapa orang masih menunggu kejutan apa lagi yang akan dibawakan oleh Raditya Dika di film Malam Minggu Miko Movie ini. 

Malam Minggu Miko Movie ini benar-benar menggunakan template yang sama dengan web series miliknya. Baik yang tayang di stasiun televisi lokal, maupun yang rilis di situs Youtube. Bedanya, Malam Minggu Miko Movie tentu saja memiliki durasi lebih panjang daripada web series-nya yang hanya berdurasi 25 menit per-episode. Inilah yang menjadi kendala dari Malam Minggu Miko Movie. Film ini seperti sebuah medley dari episode-episode Malam Minggu Miko series yang ditayangkan di layar lebar. 

Malam Minggu Miko Movie seperti terbagi dalam tiga bagian di filmnya sendiri. Tiga bagian ini memiliki sub plot masing-masing yang ternyata tidak menyokong garis besar cerita di filmnya. Tiga sub plot ini memiliki tiga pion berbeda yang memimpin ceritanya. Salah? Seharusnya tidak jika Raditya Dika bisa mengarahkan sub plot yang ada di film ini dengan baik dan mengkoneksikannya satu sama lain. Sehingga, tidak seperti sebuah sub plot yang berdiri sendiri. 


Sudah waktunya bagi Raditya Dika untuk tidak terlalu sering muncul atau menelurkan karya terbaru di setiap tahunnya. Raditya Dika terlalu sering melakukan pengulangan lelucon di setiap filmnya. Begitupun dengan Malam Minggu Miko Movie yang memiliki gaya humor khas Raditya Dika yang sudah sering didengarkan entah lewat Stand Up Comedy-nya, Buku, ataupun yang lain. Raditya Dika sudah benar-benar kehabisan bahan yang segar untuk komedinya. 

Pengulangan itu beberapa akan berhasil. Tetapi juga beberapa akan sangat gagal dan tidak berhasil membuat penontonnya tertawa. Raditya Dika pun juga terlihat kewalahan dalam gaya arahannya di Malam Minggu Miko Movie. Sangat terlihat jelas, Raditya Dika masih kebingungan untuk mengakhiri Malam Minggu Miko Movie. Paruh akhir film ini seperti diselesaikan secara tiba-tiba dengan satu turning point yang membuat tone dari filmnya berubah. Beberapa pelajaran hidup dan pelajaran tentang cinta yang tidak pernah disinggung sama sekali di paruh awal. 


Malam Minggu Miko Movie tentu tidak bisa memberikan kejutan manis layaknya Marmut Merah Jambu yang juga diarahkan langsung oleh Raditya Dika. Tetapi, Raditya Dika masih setia dengan web series Malam Minggu Miko dengan musik-musiknya and how Raditya Dika deliver the story in this movie version with his web series template. Setidaknya, hal tersebut mengingatkan pada fans-fans Raditya Dika yang mengikuti web-series-nya bahwa ?Oh, ini memang Malam Minggu Miko, banget?. 


Tetapi, hal tersebut tidak bisa menghilangkan bahwa Malam Minggu Miko Movie masih memiliki kekurangan-kekurangan. Raditya Dika tidak mengarahkan film dengan kuat layaknya Marmut Merah Jambu. Hal ini menyebabkan, Malam Minggu Miko Movie hanyalah sebuah film komedi yang pointless yang stereotip ala Raditya Dika. Dengan template jokes yang diulang dari film satu ke film lain. Raditya Dika should trying too hard for making another fans service, this movie is a reason. 
 

THE MAZE RUNNER (2014) REVIEW : The Potential Debut Adaptation


Setiap production house berlomba-lomba untuk mengadaptasi buku-buku populer apalagi buku tersebut berseri. Ada yang berhasil seperti Warner Bros dengan Harry Potter-nya, Lionsgate dengan The Hunger Games-nya, dan yang tak bisa dipungkiri yaitu Summit dengan The Twilight Saga-nya serta Divergent yang juga mulai memiliki massa-nya. 20th Century Fox pun mencoba peruntungan lewat film adaptasi buku berseri milik James Dashner yaitu The Maze Runner

The Maze Runner milik James Dashner ini berbentuk trilogi. Penggemar buku ini mungkin tidak sebesar yang lain. Begitupun dengan promo film ini yang terlihat masih malu-malu untuk sebuah film adaptasi novel. Sutradara yang menangani film ini adalah Wes Ball. Sutradara yang juga baru memulai debut di dunia perfilman. 20th Century Fox juga masih meraba-raba apakah The Maze Runner ini akan sukses atau tidak.


The Maze Runner terfokus pada satu anak bernama Thomas (Dylan O?Brien) yang ingatannya terhapus dan dia terdampar di sebuah area bernama Glade. Di sana, terdapat banyak sekali anak lelaki yang berusaha bertahan hidup. Mereka yang hidup di area ini, menyebut diri mereka Gladers. Di Glade, terdapat sebuah labirin yang setiap hari akan berubah pola. Gladers berusaha untuk mencari jalan keluar yang di dalamnya berisikan makhluk berbahaya bernama Grievers.

Setiap bulannya, anak lelaki baru akan datang ke Glade. Tetapi ketika Thomas datang semuanya berubah. Hanya selang beberapa hari ada anak baru bernama Teresa (Kaya Scodelario). Dengan sebuah pesan yang bertuliskan ?She?s the last one ever? datang bersamanya. Dia mengingat Thomas sehingga menimbulkan pertanyaan bagi Thomas. Thomas yang ingin tahu pun berusaha untuk menjadi seorang Runners dan ingin menemukan jalan keluar dari Glade.


Quite well-directed to cover not so well written script.

Tak dapat dipungkiri, banyak production house berusaha untuk mengekor kesuksesan dari The Hunger Games trilogy. Begitu pun dengan The Maze Runner ini. Buku yang sudah diterbitkan sejak tahun 2009 ini, akhirnya dilirik juga untuk diadaptasi menjadi sebuah film. Tentu dalam mengadaptasi sebuah novel untuk menjadi motion picture, perlu usaha keras agar menjadi film adaptasi yang bagus.

Diperlukan penulis skenario handal agar bisa memindahkan halaman demi halaman dari buku tersebut. Tetapi perlu diingat, buku dan film bukan satu medium yang sama. Selalu akan ada perubahan dalam mengadaptasinya ke film. Tetapi dengan usaha yang baik dari penulis skenario dan arahan yang kuat dari seorang sutradara, tentu akan menghasilkan sesuatu yang bagus. Sayangnya, The Maze Runner memiliki satu departemen yang tidak kuat agar dapat berjalan seimbang.

Yang salah dalam adaptasi The Maze Runner adalah bagian penulisan skenario. Naskah yang ditulis oleh Noah Oppenhaim dan Grant Pierce Mayers ini memiliki penulisan skenario yang lemah. Hal ini memberikan kesan one-dimensional terhadap beberapa karakter. The Maze Runner memiliki banyak sekali karakter di dalamnya. Sayangnya, karakter-karakter yang muncul ini tidak diberi perhatian lebih sehingga semuanya terkesan memenuhi layar. 


Yang menjadi pion untuk menjalankan cerita di film ini hanyalah Thomas. Beban yang cukup berat bagi Dylan O?Brien untuk menjalankan karakter Thomas. Perlu performa yang kuat dan meyakinkan. Sayangnya, Dylan O?Brien sedikit kurang meyakinkan penontonnya bahwa dialah yang mengatur segala permainan film ini. Tentu karakter di film yang terkesan one-dimensional ini, berdampak pada kurangnya koneksi antara karakter dengan penontonnya. Tidak ada rasa simpati dari penontonnya kepada karakter-karakter di film ini.

Tetapi, Wes Ball sebagai sutradara debutan melakukan arahan yang cukup bagus. Dengan lemahnya di bagian penulisan naskah, Wes Ball berhasil membangun filmnya setidaknya menjadi film yang menghibur. Tensi yang terbangun di film ini cukup baik yang setidaknya menciptakan atmosfir horor dan misteri yang cukup baik. Tentu, Wes Ball sebagai sutradara debutan, masih mendapatkan kategori ?layak? tidak seperti halnya sutradara 47 Ronin.


The Maze Runner memang bukanlah menjadi sebuah film adaptasi young adult yang outstanding. Dibandingkan dengan The Hunger Games series, The Maze Runner bukanlah apa-apa. Tetapi, The Maze Runner memberikan hal-hal menarik yang cukup membuat penontonnya penasaran dalam mengikuti setiap menit dari 100 menit film ini. Sayangnya, kekurangan lain menjadi masalah baru bagi The Maze Runner.  Yaitu bagaimana representasi visual di film ini.

Ada yang salah dalam visualisasi di film ini. Tidak ada sesuatu yang spesial dalam production value di film ini. Tidak ada gambar-gambar indah yang dapat ditangkap oleh Director of Photography, terlebih film ini dirilis dalam format IMAX. Visual itu tidak dapat menunjang kelangsungan filmnya. Mata penonton tidak terlalu dimanjakan dengan gambar-gambar di film ini. Apalagi, film ini sering menggunakan waktu malam sebagai setting waktunya. Bisa jadi dengan 'Malam' sebagai setting waktunya, Sang sutradara ingin menyampaikan atmosfir yang lebih mencekam. 


Pada akhirnya, The Maze Runner masih memiliki potensi menjadi salah satu film adaptasi buku young adult yang gagal. Sama halnya seperti Divergent, The Maze Runner memiliki beberapa kelemahan yang sama, terletak pada lemahnya penggalian karakter dan beberapa penyampaian cerita yang masih berantakan. Tetapi, bagaimana sutradara debutan Wes Ball ini bisa menutupi kekurangan dalam skenarionya sehingga The Maze Runner masih menjadi salah satu film yang menghibur.
 

TABULA RASA (2014) REVIEW : ?Makanan? Sederhana, Kaya ?Rasa?

 

Di masa sekarang, kuliner menjadi tren di social media Instagram. Fenomena food porn tentu menarik perhatian banyak orang. Tak terkecuali para sineas untuk menjadikan tren tersebut menjadi hal produktif. Coba kita ingat lagi, sudah berapa film indonesia yang mengangkat kuliner sebagai dasar ceritanya? Brownies, Saus Kacang, dan yang paling baru adalah Madre. Sebuah masakan dijadikan medium untuk menjalankan cerita dari film tersebut.

Lifelike Pictures yang dinaungi oleh Lala Timothy pun mengangkat kembali tema kuliner sebagai dasar cerita film miliknya. Tabula Rasa, satu term adaptasi dari bahasa asing, menjadikan masakan khas padang sebagai ikon untuk filmnya beserta cerita yang ada di dalamnya. Film ini sekaligus menjadi debut layar lebar dari sutradara bernama Adriyanto Dewo yang biasanya hanya menangani film-film pendek.


Mempunyai mimpi yang tinggi sebagai pemain sepak bola terkenal membuat Hans (Jimmy Kobogau) ini rela pergi ke ibu kota Jakarta untuk meraih mimpinya. Sayangnya hal tersebut tidak berjalan manis dan dia harus terlantar di jalanan. Mak (Dewi Irawan) dan Natsir (Ozzol Ramadhan) menemukan Hans tergeletak di jalan dan berinisiatif untuk mengajaknya ke warung padang miliknya. Takana Juo, nama warung padang milik Mak dengan Parmanto (Yayu Unru) sebagai juru masaknya.

Tetapi kedatangan Hans ternyata bukanlah sebuah kabar baik. Rumah Makan Takana Juo memiliki problem dalam kondisi keuangannya. Belum lagi ada rumah makan padang baru yang harus bersaing dengannya. Tentu, Hans menjadi kontradiksi bagi orang-orang yang ada di dalam Takana Juo. Tetapi, Mak tetap mempertahankan Hans yang setidaknya bisa membantunya untuk menemani ke pasar atau sekedar membersihkan rumah makannya. 


?Makanan adalah i?tikad baik untuk bertemu?

Siapa yang tak kenal masakan Padang? Bahkan di pinggiran jalan pun, banyak sekali rumah makan padang berjejeran. Menjadikannya sebagai dasar cerita untuk sebuah film tentu cukup menggairahkan. Masakan berbumbu khas padang itu pun akhirnya bisa kita nikmati lewat layar besar. Tetapi, tentu bukan perkara mudah untuk menjadikan sebuah film bertema kuliner yang benar-benar lezat layaknya sebuah masakan.

Demand yang sudah terbangun dengan cukup baik lewat berbagai media, Tabula Rasa mencoba meyakinkan para calon penontonnya. Dengan gimmick promo yang juga menonjol di antara semua film-film indonesia, tentu Tabula Rasa ingin memberikan sesuatu yang lebih dari sekedar film kuliner. Film debut layar lebar dari Adriyanto Dewo ini, tentu menjadi salah satu sajian hangat di perfilman indonesia dalam genre-nya yang belum banyak ragam.

Tagline di poster Tabula Rasa cukup mewakili apa yang ada di dalam ceritanya. ?Makanan adalah i?tikad baik untuk bertemu? dan masakan khas padang sebagai makanannya. Tabula Rasa bukan hanya sekedar film bertema kuliner dengan gambar-gambar makanan yang menggiurkan saja. Juga memberikan intrik dengan budaya dan keberagamannya yang dipertemukan lewat satu makanan berbumbu dan kaya rasa khas padang. Sajian Tabula Rasa pun juga punya hal tersebut di dalamnya. 


Sebagai karya debut, tentu ini menjadi sebuah karya menjanjikan dari Adriyanto Dewo. Tabula Rasa berhasil meracik bumbu-bumbu itu dengan pas. Film ini pun sesederhana tampilan masakan padang tetapi dibalik kesederhanaan itu ada banyak sekali kekayaan rasa di dalamnya. Tabula Rasa tentu bukan hanya menjadi sebuah film bertema kuliner dengan tampilan saja menggiurkan. Tetapi, ada makna dibalik yang disampaikan dengan cara yang tidak kentara. Mengajak penontonnya menyelami setiap adegan di setiap 100 menitnya itu agar bisa menangkap sendiri pesannya.

Anggap saja para karakter di film ini adalah bahan-bahan dasar untuk memasak. Rempah-rempah dari tanah agraris Indonesia. Mereka sangat beragam, memiliki latar belakang buadaya ataupun agama dan ciri-ciri fisik yang berbeda. Tetapi ketika semua ?bahan? berhasil diracik dan dikolaborasikan, semuanya sangat sedap dipandang dan disantap. Bukankah hidup dalam keberagaman itu sebenarnya begitu indah? Itulah yang coba disampaikan oleh Tabula Rasa.


Tetapi, Tabula Rasa bukanlah film bertema kuliner dengan sajian pop. Sebenarnya, film ini tidak memanjakan penontonnya. Di balik tema-nya yang mainstream itu ada naskah yang ditulis oleh Tumpal Tampubolon yang menyetir Tabula Rasa menjadi film art house. Terlihat cara penuturan film ini yang sebenarnya masih memiliki kesan eksperimental ketimbang ke ranah yang lebih mudah dicerna. Kesan eksperimental itu mungkin tidak akan terasa dominan karena masih ada batasan dalam menyalurkan gaya quirky-nya dalam bertutur di film ini.

Untuk akhirnya bisa mengambil hati penontonnya pun sepertinya masih segmented. Tetapi, kerja keras Adriyanto Dewo berusaha untuk menerjemahkan naskah milik Tumpal Tampubolon ini bisa dibilang berhasil. Toh, Tabula Rasa ini tidak terjerumus terlalu dalam. Karena dengan tema yang seharusnya universal ini, pun harusnya bisa dinikmati oleh segala usia dan kalangan. Bukan hanya sebagian dari penontonnya. 


Character depth pun masih memiliki keterbatasan. Penonton tak bisa masuk lebih dalam lagi agar terkoneksi dengan emosi karakternya. Beruntunglah, kekurangan itu pun bisa ter-cover oleh performa dari jajaran aktor-aktris di film ini. Nama-nama yang ada di film ini mungkin tak eye-catchy, tetapi jangan ragukan performa mereka. Terutama Dewi Irawan yang memerankan sosok Mak dan juga Hans yang diperankan oleh Jimmy Kobogau.

Gambar-gambar indah dari sang DOP ini berperan sangat efektif di film ini. Bagaimana setiap bahan-bahan dapur, makanan-makanan padang seperti rendang atau gulai kepala ikan berhasil memiliki kharismanya. Karena di sinilah bagaimana fenomena foodporn di social media ini berhasil tertangkap lewat gambar bergerak. Alhasil, penonton yang menonton film ini akan merasakan indahnya rendang ataupun gulai kepala ikan. Dengan sesekali membayangkan bau dan rasanya yang akan terasa nikmat saat dihidangkan. Setelah selesai nonton, penonton akan segera mencari rumah makan padang terdekat.


Dengan minimnya keberagaman di tema ini, Tabula Rasa menjadi salah satu cinema gem yang wajib kita santap selagi bisa. Karena, Tabula Rasa bukanlah sekedar tentang sebuah makanan tetapi bagaimana ?Rasa? yang kaya itu sangat penting. Meski penuturan ceritanya yang masih memiliki rasa segmented di dalamnya. Tetapi, Tabula Rasa adalah salah satu karya buatan anak negeri yang patut dapat apresiasi dan perhatian lebih. Selain menggugah selera makan, film ini pun akan menggugah hati penontonnya.

ANNABELLE (2014) REVIEW : ?The Conjuring? Cinematic Universe


Kesuksesan James Wan dalam menangani kasus-kasus supranatural dalam film garapannya tentu tidak diragukan lagi. Kesuksesan yang digapai oleh James Wan ini menjadi babak baru bagi film horror Hollywood. The Conjuring dan Insidious menjadi mahakarya milik James Wan yang mengembalikan lagi semangat-semangat film horror Hollywood yang sudah mulai menghilang. Kedua film tersebut pun mulai meng-expand lagi universe-nya.

The Conjuring pun sudah mendapatkan slot untuk sekuelnya. Sebelum menuju ke sekuelnya, penikmat film horor dimanjakan oleh sebuah spin-off dari The Conjuring. Siapa yang tak tahu boneka ?menggemaskan? di film The Conjuring, Annabelle? Boneka ini berkesempatan untuk mendapatkan penuh 90 menit durasi film yang menceritakan tentangnya. John R. Leonetti ini berkesempatan untuk menjalankan penuh cerita boneka setan ini.


Where to begin the Annabelle? Sepasang suami-istri, John Form (Ward Horton) dan Mia (Annabelle Wallis) hidup di sebuah rumah. Mia yang sedang hamil tua mendapatkan hadiah dari sang suami sebuah boneka Annabelle yang sudah lama di carinya. Di malam yang sama, dua orang pengikut sekte pemuja setan datang tiba-tiba dan meneror rumah mereka. Pertumpahan darah pun terjadi dan boneka Annabelle tersebut menjadi saksi bisu.

Setelah kejadian pada malam itu, Mia merasa tidak nyaman dengan rumahnya. Dia pun mengalami beberapa kejadian janggal di dalam rumahnya dan juga dengan boneka Annabelle miliknya. Dia pun menyuruh sang suami membuangnya dan memutuskan untuk pindah ke tempat lain. Tetapi, Boneka tersebut mengikuti ke mana mereka pergi. Dan teror pun dimulai.


A spin-off to expand ?The Conjuring? universe

Kemunculan boneka Annabelle di film The Conjuring menjadi salah satu hal ikonik untuk film arahan James Wan tersebut. Annabelle pun disandarkan dengan sang boneka setan legendaris, Chucky. Tentu, Warner Bros pun tak mau diam mengenai fenomena boneka Annabelle ini. The Conjuring pun memperluas universe horror dengan sebuah spin-off dari boneka setan Annabelle. Hanya berselang setahun setelah euphoria The Conjuring, Annabelle pun diluncurkan.

Orang pun menilai Annabelle ini adalah aji mumpung dari The Conjuring. Spin off pengeruk uang yang tentu bisa menarik perhatian penontonnya di tengah sepinya film besar di bulan Oktober. John R. Leonetti belum punya track record baik di karya. Dia hanya ikut andil menjadi co-producer dalam dua seri Insidious yang juga disutradarai oleh James Wan. Lantas, Annabelle tentu hanya menggunakan pamornya di The Conjuring untuk menjalankan misinya.

Annabelle arahan dari John R. Leonetti ini belum bisa dikatakan menjadi salah satu film horor yang dapat mengekor kualitas milik The Conjuring. Di tengah sepinya film horor di tahun ini, Annabelle pun belum bisa dikatakan yang paling menonjol untuk tahun ini. Di luar pamornya yang tinggi, Annabelle tidak memberikan efek dalam jangka panjang. Segala hal di dalam film ini pun akan mudah dilupakan oleh penontonnya setelah credit title bergulir.


Harapan yang digantungkan oleh penonton kepada film Annabelle cukup tinggi ketika tahu bahwa The Conjuring benar-benar membuat penonton ketakutan. Nyatanya, Annabelle arahan John R. Leonetti ini masih tidak memiliki potensi yang sama bagusnya. Annabelle tentu memiliki hal klise dalam mengkonstruksi cerita di dalamnya. Lewat naskah yang ditulis oleh Gary Dauberman ini terlihat menggunakan lagi template cerita yang sudah usang.

Cerita yang ada di film ini seperti sudah pernah penonton saksikan di film horor-horor lainnya seperti sekte pemuja setan, simbol, dan beberapa konflik lainnya. Hanya saja yang sedikit berbeda yaitu adanya medium setan tersebut berinang, Boneka Annabelle. Cerita milik Annabelle ini bukan hanya tidak spesial, tetapi penuturannya pun tertatih. Semua terkesan dipercepat di awal hingga pada bagian paruh akhirnya, film ini pun tak tahu akan dibawa dalam penyelesaian seperti apa.


Hasilnya, penonton merasa terkejut dengan penyelesaian yang menggelikan. Cerita milik Annabelle memang tidak ada yang istimewa tetapi cerita yang tak istimewa itu tidak menjadi hal pendukung untuk filmnya. John R. Leonetti terlihat begitu semangat dan tidak sabar untuk  meneror penontonnya. Alhasil, begitu cepat karakter-karakter dan konflik itu masuk di dalam film ini. Paruh pertama masih cukup bagus dalam membangun suasananya. Tetapi setelah itu, segalanya terlihat sangat melelahkan untuk diikuti. Beberapa karakter pun akan terkesan asal tempel untuk menyesaki layar.  

Tetapi, John R. Leonetti masih patut diacungi jempol untuk mengarahkan film Annabelle yang masih mampu meneror penontonnya. Tetapi, tingkatan teror itu masih belum bisa menyaingi The Conjuring yang mampu melekat di penontonnya hingga berhari-hari. John R. Leonetti masih memiliki semangat dan beberapa ciri dari film James Wan yang digunakan di film ini. Beberapa kesan old-school lewat scoring meski tak sekuat jika ditangani oleh James Wan.

Kekuatan dari Annabelle adalah Jump-scare yang beberapa juga masih hit and miss. Tidak ada inovasi yang digunakan oleh sang sutradara untuk mengageti penontonnya. Jump-scare milik Annabelle pun terkesan been-there, done-that tetapi masih efektif untuk membuat penontonnya berteriak. Mungkin ada beberapa yang terasa fresh di jump scare-nya, terutama adegan di dalam lift. John R. Leonetti pun masih bisa memberikan atmosfir yang tegang di beberapa bagian. Tetapi, tak sedikit pula yang masih gagal dalam membangun atmosfir tersebut.


Annabelle mungkin tidak dapat menyaingi The Conjuring yang mematok harga tinggi untuk film horor. Dengan cerita yang dibangun masih sangat lemah dan arahan milik John R. Leonetti yang terlalu bersemangat, Annabelle pun tidak dapat berdiri sejajar dengan pamornya yang tinggi. Tetapi, semangat dan beberapa identitas milik James Wan yang masih diikuti polanya oleh sang sutradara, Annabelle masih akan diburu oleh penonton awam dan pecinta horor untuk dinikmati sensasinya.

STRAWBERRY SURPRISE (2014) REVIEW : Analogi Cinta dan Stroberi


Jatuh cinta, siapa yang tak pernah merasakan indahnya jatuh cinta? Banyak sekali cerita cinta yang divisualkan untuk film layar lebar. Mulai dari cinta bertepuk sebelah tangan, orang ketiga, dan beberapa konflik cinta yang lainnya yang dekat dengan kehidupan insan manusia sehari-hari. Sineas Indonesia pun juga banyak yang menawarkan film bertema cinta. Beberapa judul film pun mengusung tema cinta dengan konfliknya yang berbeda.

Meski tema cerita cinta cenderung memiliki formula yang klise. Tetapi, sineas Indonesia masih saja menggarap film drama romantis. Begitu pun dengan Hanny R. Saputra, sutradara yang pernah menggarap film Di Bawah Lindungan Ka?bah ini kembali ke jalurnya untuk mengarahkan satu film cinta dewasa. Kembali berkolaborasi bersama Oka Aurora di departemen penulisan naskah, Hanny R. Saputra mengangkat cerita cinta dari buku karangan Desi Puspitasari berjudul ?Strawberry Surprise?.


Aggi (Acha Septriasa) mengibaratkan kisah cintanya seperti sekotak buah stroberi, berharap buah stroberi tersebut manis tetapi asam luar biasa. Kisah cintanya bersama Timur (Reza Rahadian) pun pada awalnya baik-baik saja. Tetapi setelah menjalin hubungan cukup lama dengan kondisi tempat mereka yang berjauhan, mereka pun memutuskan untuk berpisah. Timur masih berharap 5 tahun lagi, Aggi masih sendiri dan menerimanya kembali.

5 Tahun berikutnya, Timur kembali menagih janji dari Aggi. Berharap Aggi masih sendiri dan mengajaknya untuk kembali menjalin hubungan. Beberapa minggu, Timur terus mengejar dan menagih cerita Aggi bersama mantan-mantannya. Aggi masih mempertimbangkan kelanjutan hubungannya Timur. Timur pun merelakan apapun agar bisa kembali bersama Aggi. 


Kejutan yang manis di genre ini.

Film bertema cinta milik sineas indonesia memang cukup banyak dibuat. Tetapi, ada berapa yang bisa menancap di hati penontonnya? dan kapan terakhir kali anda menontonnya? Memang judul-judul film romansa cinta Indonesia memang tak banyak yang bisa menancap di hati penontonnya. Hanny R. Saputra sudah banyak sekali mengarahkan film-film cinta di awal-awal debutnya sebagai sutradara. Heart, Love Is Cinta, dan Love Story adalah trilogi LOVE miliknya

Maka, sudah bukan hal baru lagi bagi Hanny R. Saputra untuk mengarahkan film yang diadaptasi dari buku milik Desi Puspitasari, Strawberry Surprise. Film bertemakan cinta biasanya memiliki formula dan template yang sama dari satu film ke film yang lain. Begitu pun dengan Strawberry Surprise, dari sinopsis pun kita bisa tahu bagaimana film ini akan berjalan. Tetapi, ada yang berbeda dengan Strawberry Surprise. Sesuatu yang benar-benar mengejutkan yang patut untuk anda simak setiap menitnya.

Jika anda sudah pernah melihat sekilas dari Strawberry Surprise lewat trailernya, anda akan tertipu. Trailer film ini memang terkesan biasa saja, tipikal film-film cinta yang gampang dilupakan. Tetapi ketika menonton film ini secara penuh di bioskop, Strawberry Surprise benar-benar tampil di luar dugaan dari trailernya yang biasa saja. Strawberry Surprise memiliki jalinan cerita yang disampaikan cukup rapi kepada penontonnya. Penonton akan dengan mudah hanyut dengan kisah cinta milik Aggi dan Timur. 


Oka Aurora berhasil mengadaptasi buku milik dari Desi Puspitasari ini dengan baik. Dialog-dialog dinamis tentang cinta yang dianalogikan sebagai sekotak buah stroberi dan dialog-dialog lainnya pun meninggalkan kesan manis untuk penontonya. Dialog-dialog yang bisa dikutip dan beberapa akan menohok penontonnya yang memiliki cerita yang sama dengan Aggi dan Timur. Hubungan jarak jauh yang membutuhkan kepercayaan satu sama lain agar bisa bertahan. Ya, penonton pun akan dengan mudah terwakili lewat karakter Aggi dan Timur.

Strawberry Surprise pun berjalan apa adanya tanpa kesan berlebihan di 90 menit filmnya. Hanny R. Saputra pun berhasil berkolaborasi dengan naskah yang ditulis oleh Oka Aurora. Hasilnya, tidak ada kesan over-dramatic, semuanya berjalan sederhana tetapi berhasil meninggalkan kesan manis yang cukup dalam untuk film ini. Hanny R. Saputra berhasil mengarahkan filmnya agar penonton bisa terkoneksi dengan karakter-karakternya. Karena setiap adegan di Strawberry Surprise begitu terasa emosinya. 


Strawberry Surprise tidak seluruhnya sempurna, masih ada beberapa minor kecil di dalamnya. 20 menit pertama film ini mungkin masih sedikit kacau. Strawberry Surprise mencoba menggunakan alur campuran untuk menceritakan setiap detil latar belakang karakternya. Editing dan penuturannya sedikit kacau sehingga penonton awam akan sedikit kebingungan dengan apa yang terjadi dengan Aggi dan Timur. Tetapi semakin bertambah durasinya, Strawberry Surprise menemukan iramanya dan berjalan dengan sangat baik.

Pun dengan karakter-karakter pendukungnya yang juga masih terkesan one dimensional. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen, Inda pun masih ragu di dalam film ini. Karakter yang diperankan oleh Olivia Jensen mungkin akan berpotensi sebagai penguat karakter Timur tetapi kurang digali lebih oleh Hanny R. Saputra. Beberapa konflik antara Timur dan Inda pun seperti ada yang menahan, mungkin agar tidak terlalu membuat film ini menjadi over dramatic dan terlalu klise. Dia lebih memfokuskan Strawberry Surprise kepada kisah cinta Timur dan Aggi. 


Dan beruntunglah, Strawberry Surprise memiliki pemilihan aktor dan aktris yang tepat sehingga menambahkan kesan manis di dalam filmnya. Acha Septriasa dan Reza Rahadian mungkin pernah bermain dengan sangat bagus di film Test Pack. Dan sekali lagi, chemistry kuat itu mereka tampilkan di film ini. Mereka sangat berhasil membawa suasana haru dan romantis dengan sangat kuat bukan secara berlebihan. Sehingga penonton akan dengan mudah ikut tersenyum lantaran jalinan cerita cinta mereka yang penuh perjuangan. 


Maka tak salah, di tengah minimnya film-film cinta milik sineas Indonesia, Strawberry Surprise mampu menjadi salah satu yang terbaik di genre-nya tahun ini bahkan beberapa tahun terakhir. Sebuah kejutan manis hasil kolaborasi Hanny R. Saputra dan Oka Aurora yang mengantarkan kisah asam manis cinta yang memorable. Asam manis cinta milik Aggi dan Timur yang diibaratkan lewat sekotak buah stroberi ini akan mampu membuat penontonnya tersenyum.

3 NAFAS LIKAS (2014) REVIEW : Siapa itu Likas ?


Tak henti-hentinya para sineas Indonesia menggarap film biopik untuk meramaikan perfilman Indonesia. Mulai dari para petinggi negeri, tokoh-tokoh agama, hingga sosok menginspirasi yang berhasil menitih karir from zero to hero. Tema biopik ini memang bisa dibilang sukses untuk menarik perhatian penontonnya. Sehingga tak salah, jika para sineas Indonesia mulai berlomba-lomba untuk mengangkat sosok-sosok penting di dalam negeri untuk diadaptasi ke layar lebar.

Rako Prijanto contohnya, salah satu sutradara yang sudah pernah menggarap film biopik tokoh agama yaitu Sang Kiai. Kesuksesan Sang Kiai di ajang Festival Film Indonesia 2013 ini, membuat Rako Prijanto sekali lagi mengarahkan sebuah film biopik. Diangkat dari kisah sosok Likas Tarigan, perempuan asal Karo yang juga sekaligus istri dari Djamin Gintings. Bersama dengan Atiqah Hasiholan dan Vino G. Bastian di deretan pemainnya, film biopik ini diberi judul 3 Nafas Likas. 


Dimulai saat era 1930-an, Likas Kecil (Tissa Biani Azzahra) ingin sekali menjadi guru. Di sekolahnya, Likas kecil mendapatkan prestasi yang bagus. Hingga Ayah Likas (Arswendi Nasution) memutuskan untuk mendaftarkan Likas ke sekolah guru di Padang Panjang. Hal tersebut mendapatkan tentangan dari Ibu Likas (Jajang C. Noer) yang berharap Likas tidak pergi ke sekolah guru tersebut. Tetapi, Likas tetap yakin dengan kemauannya.

Selang waktu berlalu, Likas (Atiqah Hasiholan) sudah lulus dan berhasil menjadi seorang guru di Padang Panjang. Pada akhirnya, dia bertemu dengan pemuda pasukan PETA, Djamin Gintings (Vino G. Bastian). Djamin tiba-tiba menaruh hati pada Likas. Meski pada awalnya, Likas selalu membuang muka dan menghindar dari Djamin. Di saat itu pula, keadaan Indonesia yang sedang dijajah Jepang semakin memburuk dan mengharuskan Likas untuk berjuang menyelamatkan dirinya. 


Still being one of the gem in indonesian cinemas.

Biopik kembali menjadi tren ketika Habibie & Ainun, film yang mengisahkan perjalanan presiden ketiga negara Indonesia ini, berhasil memperoleh jutaan penonton. Beberapa biopik pun dibuat alih-alih untuk mendapatkan antusiasme penonton. Rako Prijanto, yang pernah menggarap Sang Kiai ?yang juga sukses? dibawah rumah produksi Oreima Pictures menggiring 3 Nafas Likas menjadi salah satu film biopik yang akan dikenang oleh penontonnya.

Satu hal yang mungkin akan dipertanyakan oleh penonton film biopik. Siapa itu Likas? Apa yang telah diperbuatnya oleh negara? Tentu, Likas akan memiliki koneksi yang cukup kuat di daerah tertentu. 3 Nafas Likas akan membuat penonton tahu siapa itu Likas. Orang biasa yang ingin mewujudkan mimpinya menjadi seorang agar menjadi kenyataan. Kehidupan orang biasa ini sepertinya belum bisa diarahkan dengan cukup baik oleh Rako Prijanto.

Pertanyaan awal tadi sepertinya juga patut dipertanyakan di dalam film 3 Nafas Likas. Siapa itu Likas? Istri Djamin Gintings, sosok Letnan Jendral. Lantas apa yang membuatnya spesial sebelum itu? Rako Prijanto pun seperti masih mempertanyakan siapa itu Likas di dalam filmnya. Dengan naskah yang ditulis oleh Titien Wattimena, sosok Likas masih terbangun baik dalam paruh pertama filmnya. Rako Prijanto berhasil memberikan harapan di paruh pertama kepada penontonnya. 


Ketika Vino G. Bastian yang memerankan Djamin Gintings muncul, ini adalah titik turun di dalam filmnya. Bukan karena akting dari Vino G. Bastian yang buruk, tetapi karena bagaimana Rako Prijanto terlihat kuwalahan untuk mengarahkan karakter-karakter yang sudah mulai menumpuk di dalam filmnya. Penuturan lembut di dalam skrip milik Titien Wattimena itu masih terasa, tetapi Rako Prijanto tidak bisa merepresentasikan naskah yang ada. Di sisa-sisa menit yang ada, 3 Nafas Likas terlihat susah untuk menuturkan apa yang terjadi di dalam filmnya.

Dengan Timeline yang memiliki rentang waktu yang cukup panjang, 100 menit akan terasa sangat singkat. Rako Prijanto pun seperti harus memasukkan setiap adegan-adegan yang ada meskipun akan terasa beberapa cerita masih ada yang belum tuntas untuk diceritakan. Begitupun dengan sosok Likas yang sudah mulai buram dalam pembangunan karakternya. Sosok Likas yang seharusnya lebih diceritakan seperti diambil alih oleh cerita milik Djamin Ginting, meski tetap menggunakan Likas sebagai point of view di dalam filmnya. 


Akan terasa episodik di setiap paruh filmnya, karena transisi karakter yang cukup dominan. Sesuai dengan judulnya, 3 Nafas Likas, metafora kehidupan Likas yang bergantung terhadap 3 orang yang berpengaruh di hidupnya. Tetapi, naskah milik Titien Wattimena ini memiliki beberapa hal yang patut dipuji. Bagaimana kehidupan budaya Karo tentang merantau dan beberapa adat lainnya yang mampu dirangkum di dalam naskahnya. Meski, Rako Prijanto masih belum bisa menerjemahkan semua itu dengan sempurna.

Pun juga perlu mendapatkan apresiasi dalam nilai produksi di dalam setting filmnya. Setiap detil tempat dan suasana berhasil menangkap bagaimana kehidupan di Karo, bagaimana kehidupan di tahun 1930, dan seterusnya. Digarap dengan sangat baik yang mampu menutupi segala kekurangan tutur cerita milik Rako Prijanto yang belum rapi. Usaha-usaha teknis yang benar-benar digarap serius dan tertangkap oleh sinematografi yang cantik ini layak diacungi jempol. 


Juga dengan kekuatan akting dari Atiqah Hasiholan dan Vino G. Bastian yang berhasil menggunakan logat etniknya dengan baik. Meski, chemistry antara mereka belum benar-benar terjalin kuat layaknya Reza Rahadian dan juga Bunga C. Lestari di Habibie & Ainun. Yang patut disorot adalah Tissa Biani Azzahra yang memerankan Likas Kecil. Sebagai aktris cilik, performa miliknya begitu luar biasa dan mampu membuat penonton simpati dengan karakternya.

3 Nafas Likas masih memiliki kelemahan di dalam penuturan ceritanya. Belum bisa membangun karakter Likas dengan begitu spesial sehingga layak diapresiasi lewat film biopik. Tetapi, 3 Nafas Likas tetap menjadi salah satu film Indonesia yang patut untuk diapresiasi. Dengan nilai produksi yang sangat detil dan digarap serius, 3 Nafas Likas ini perlu untuk mendapat dukungan dari penontonnya. Salah satu film Indonesia yang digarap tidak sembarangan.