HIV/Aids menjadi salah satu topik bahasan penyakit yang sering dibahas
di dalam sebuah film. Beberapa film pernah mengangkat penyakit ini menjadi
sebuah drama haru biru. Sayang, tak semua film bertemakan hal yang serupa mampu
memberikan sebuah pengertian jelas tentang penyakit ganas ini. Semua masih
terasa abu-abu dan menjadi sebuah film penyuluhan dengan metode yang sama antar
satu film dengan film lainnya.
Seakan tak merasa jera, HIV/Aids kembali diangkat lagi ke dalam medium
sebuah film. Kali ini giliran Charles Gozali yang berusaha mengangkat penyakit
ganas ini menjadi sebuah drama kehidupan yang mencoba menginspirasi. Nada Untuk
Asa yang digarap oleh sutradara Finding Srimulat ini memiliki potensi untuk
menjadi film bertemakan sama tetapi dengan kemasan yang berbeda. Dibintangi
oleh pemain-pemain handal seperti Acha Septriasa, Marsha Timothy, Wulan
Guritno, dan Darius Sinathrya, maka film ini memiliki nilai lebih yang patut
diperhitungkan.
Lantas, apa yang berbeda dari Nada Untuk Asa? Tak ada yang berbeda
dari cerita milik Nada Untuk Asa ini. Hanyalah kisah tentang dua orang wanita
berbeda generasi yang sedang berjuang untuk hidup dengan penyakitnya. Nada
(Marsha Timothy) mendapatkan penyakit ini dari Bobby (Irgi Fahreza), suaminya
yang sudah berpulang. Bobby pada awalnya didiagnosa mengidap kanker paru-paru
di saat-saat terakhir hidupnya. Tetapi, Gita (Nadila Ernesta) mencoba mencari
tahu penyebab lebih kongkritnya. Nada merasa kaget atas penyakit yang
ditularkan oleh suaminya ini. Dia merasa pesimis terhadap hidupnya.
Berbeda dengan Asa (Acha Septriasa), dari kecil sudah mengidap
penyakit HIV dan harus terpaksa di-PHK oleh bosnya karena sang bos tahu dia
mengidap HIV. Asa tetap menerima segala keputusan orang-orang dengan lapang
dada. Asa tetap ceria menghadapi hari-harinya hingga akhirnya dia bertemu
dengan Wisnu (Darius Sinathrya) di sebuah kafe. Wisnu mulai merasakan sesuatu
yang berbeda dengan kepribadian Asa dan mereka selalu bersama-sama.
Kisah perjalanan Asa dan Nada dalam menghadapi penyakitnya inilah yang
ditakutkan penontonnya untuk jatuh menjadi sajian penuh derai air mata yang
berlebihan. Tak bisa disalahkan, karena penonton sudah terlalu sering
ditawarkan film bertema sejenis yang digarap terlalu berlebihan. Tetapi,
berbeda dengan Nada Untuk Asa milik Charles Gozali. Karena Nada Untuk Asa tak
perlu didramatisir tapi mampu mengundang simpati penontonnya.
Penonton akan dengan mudah masuk dan memiliki koneksi dengan karakter
Nada dan Asa. Karena karakter-karakter yang terinspirasi dari sosok nyata yang
diperankan oleh Aktris-aktrisnya ini berhasil memiliki nyawa yang sangat kuat.
Tentu itu berkat performa gemilang dari Marsha Timothy dan Acha Septriasa.
Meskipun setiap adegan akan tetap dihiasi oleh perang air mata antar
karakternya, tetapi tak ada kesan berlebihan. Semua tampil apa adanya dan mampu
mengoyak emosi penontonnya.
Marsha Timothy yang memerankan sosok Nada berhasil mengajak
penontonnya merasakan kegetiran hidupnya karena musibah yang bertubi-tubi.
Peran Nada ini adalah pencapaian luar biasa dari Marsha Timothy. Karena dengan
karakternya yang begitu sederhana, Marsha Timothy menunjukkan kualitas akting
yang maksimal. Begitu pun dengan Acha Septriasa yang menunjukkan pribadi
karakter Asa yang kuat dan ceria. Dan jangan lupakan performa apik dari Wulan
Guritno, meski terbatas running time, tapi berhasil mencuri perhatian
penontonnya.
Kesederhanaan adalah kekuatan dari Nada Untuk Asa. Di atas sebuah
kertas, mungkin Nada Untuk Asa tak memiliki sesuatu yang spesial. Dialog-dialog
yang stereotip, penggambaran adegan yang masih sama antar satu film dengan yang
lainnya. Tetapi, di tangan Charles Gozali, Nada Untuk Asa berhasil mendapatkan
nyawa yang sangat kuat dan nyata. Tanpa adanya eksploitasi air mata dan
kesedihan, Nada Untuk Asa tetap ampuh menjadi sebuah tearjerker film yang
disajikan ke penontonnya.
Meskipun, kesederhanaan pula yang menyebabkan Nada Untuk Asa bukan
menjadi sesuatu yang sempurna. Masih ada minor di beberapa bagian yang membuat
Nada Untuk Asa bergerak terbatas dalam menceritakan setiap narasinya. Juga,
beberapa editing yang masih belum halus sehingga beberapa adegan akan terasa
meloncat. Tetapi, dikuatkan lewat bagaimana Charles Gozali bertutur untuk
menggerakkan pion karakternya yang menyenangkan.
Tertawa di atas derita, ungkapan yang pas untuk Nada Untuk Asa.
Tetapi, ungkapan tersebut dikemas menjadi sesuatu yang menyenangkan dan
berbeda. Film ini jelas menyampaikan sebuah pesan tentang keberanian untuk
menjalani hidup. Meski terbatas oleh penyakit yang ganas, tetapi karakter Nada
dan Asa akan merepresentasikan para wanita yang akan terus berjuang melewati
hidupnya. Karena hidup tak selamanya tentang bangkit, tetapi akan ada satu poin
di mana kita akan jatuh dan harus kembali bangkit lagi.
Tak ada yang sempurna, Nada dan Asa adalah karakter wanita kuat yang
harus jatuh karena penyakit yang dideritanya, begitu pula dengan film arahan
Charles Gozali ini. Nada Untuk Asa jelas bukan presentasi sempurna. Tetapi
lewat keterbatasan dan kesederhanaan itulah, Nada Untuk Asa berhasil
mengeluarkan sinarnya dan dengan mudah mengundang simpati penontonnya. Karena
sebuah keterbatasan bukanlah penghambat jika kita masih berani untuk
menjalaninya. Nada Untuk Asa punya itu sebagai kelebihannya.
No comments:
Post a Comment